Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Pasca LahirnyabUndang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 TentangnKomisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Asrial Wahyuga/01.17.4085 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang kedudukan komisi pemberantasan korupsi pasca
lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana kedudukan
dari lembaga anti korupsi yang dimiliki oleh Indonesia yaitu Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) setelah dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normative atau
penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka dan atau data sekunder. Data sekunder yaitu data yang
diperoleh dari pihak lain, yakni tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek
penelitiannya. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian
ditarik suatu kesimpulan dari masalah yang diteliti.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa dalam sejarah penaganan
tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia terdapat berbagai lembaga yang telah
dibentuk untuk menangani masalah korupsi di Indonesia namun hal tersebut masih
saja tidak mampu menangani masalah korupsi yang terjadi. Hingga pada masa
Reformasi dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dalam
menjalankan kewenangannya KPK bersifat independen. Akan tetapi status KPK
sebagai lembaga yang bersifat independen dalam menjalankan segala tugasnya,
berubah menjadi lembaga negara yang berada dalam rumpun eksekutif. Hal tersebut
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pergeseran kedudukan KPK dari lembaga
independen ke lembaga yang berada dalam rumpun eksekutif ini terjadi karena
pemerintah masih saja mengkotak-kotakkan lembaga negara dalam paradigma trias
Politica padahal konsep ini sudah tidak digunakan lagi di berbagaia negara dan di
gantikan dengan teori the new separation of power. Selain itu, KPK harus menerima
kenyataan dengan adanya dewan pengawas ditubuk KPK. Hal tersebut tentu sangat
berpengaruh terhadap kinerja dari KPK karena dalam menjalankan tugasnya KPK
terlebih dahulu harus menerima izin dari dewan pengawas.
A. Simpulan
1. Legalitas kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang
Nomor 19 tahun 2019 sejatinya mengalami bayak pergeseran menenai status
kedudukan KPK sebagai lembaga yang sering kali di sebut-sebut sebagai
Auxiliary State’s Organ atau lembaga negara penunjang yang dalam
menjankan tugas dan wewenagnya secara independen. Akan tetapi realitas
yang terjadi sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini mengakibatkan berbagai
macam Polemic yang Mengakibatkan KPK yang berefolusi menjadi lembaga
negara yang berada pada rumpun Eksekutif meski dalam menjalankan
tugasnya bersifat Independen. Akan tetapi hal tersebut justru melemahkan
KPK itu sendiri sebab dalam melakukan tutas-tugasnya sebagai lembaga
negara yang khusus menangani masalah yang berkaitan dengan korupsi tentu
diperlukan lembaga yang dapat bergerak cepat untuk menagani masalah
tersebut. Terlebih lagi dengan adanya badan pengas di tubuh KPK
sebagaimana yang di jelaskan dalam Pasal 21 ayat 1 yang menebutkan
mengenai jumlah anggota Dewan Pengawas tersebut.
2. Impliksi hukum yang timbul ketika Komisi Pemberantasan Korupsi
menjalankan kedudukannya sebagai lembaga negara independen atau
eksekutif yang dalam hal ini berdampak pada pemisahan kekuasaan sesuai
dengan paradigma trias politika sebab atas paradigma tersebut pemerintah
masih saja mengkotak-kotakkan lembaga negara ke tiga cabang pemisahaan
kekuasaan tersebut padahal di berbagai negara telah ditinggalkan dengan
mengadopsi memisahan kekuasaan dengan paradigma teori the new separation of
power. Selain itu, keberadaan dewan pengawas tentu membawa pengaruh yang
besar terhadap kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penyitaan. Hal ini terjadi karena KPK harus mendapatkan persetujuan terlebih
dahulu kepada dewan pengawas sebelum KPK menjalankan tugas penyidikan
penyelidikan dan penyitaan. Selanjutnya keberadaan pasal 1 ayat 6 yang
menjelaskan tentang kepegawaian KPK yang berstatus Aparatur Sipil Negara
yang tentu akan berimplikasi terhadap keterikatan antara pegawai KPK dengan
pemerintah eksekutif sehingga para pegawai yang terbilang kompeten bisa saja di
mutasi ke lembaga lain.
B. Saran
1. Seharusnya untuk melakukan penanganan terkait kasus tindak pidana
korupsi, lembaga atau badan yang telah dibuat mestinya lebih produktif
dalam menjalankan tugas yang telah di limpahkan kepada lembaga tersebut.
Kemunculan lembaga atau badan anti korupsi seperti KPK sejatinya tidak
perlu di hadirkan ketika kepolisian dan kejaksaan mampu untuk menagani
kasus-kasus korupsi yang ada di Negara Indonesoia.
2. Perubahan undang-undang yang mengatur terkait komisi pemberantasan
korupsi, harusnya lebih pempertimbangkan hal-hal yang akan terjadi jika
KPK berada pada rumpun eksekutif. Dikarenaka berdasankan analisis penulis
hal tersebut jelas akan melemahkan kinerja daripada KPK itu sendiri, selain
itu harusnya badan legislatif dalam hal ini DPR ketika mengeluarkan produk
legislasi harus melalui fakta-fakta hukum yang ada agar produk legislasi yang
dihasilkan tidak saling bertentangan. Selain itu, DPR semestinya
mempertimbangkan hasil-hasil Putusan Makhamah Konstitusi yang bersifat
final and binding.
lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana kedudukan
dari lembaga anti korupsi yang dimiliki oleh Indonesia yaitu Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) setelah dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normative atau
penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka dan atau data sekunder. Data sekunder yaitu data yang
diperoleh dari pihak lain, yakni tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek
penelitiannya. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian
ditarik suatu kesimpulan dari masalah yang diteliti.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa dalam sejarah penaganan
tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia terdapat berbagai lembaga yang telah
dibentuk untuk menangani masalah korupsi di Indonesia namun hal tersebut masih
saja tidak mampu menangani masalah korupsi yang terjadi. Hingga pada masa
Reformasi dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dalam
menjalankan kewenangannya KPK bersifat independen. Akan tetapi status KPK
sebagai lembaga yang bersifat independen dalam menjalankan segala tugasnya,
berubah menjadi lembaga negara yang berada dalam rumpun eksekutif. Hal tersebut
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pergeseran kedudukan KPK dari lembaga
independen ke lembaga yang berada dalam rumpun eksekutif ini terjadi karena
pemerintah masih saja mengkotak-kotakkan lembaga negara dalam paradigma trias
Politica padahal konsep ini sudah tidak digunakan lagi di berbagaia negara dan di
gantikan dengan teori the new separation of power. Selain itu, KPK harus menerima
kenyataan dengan adanya dewan pengawas ditubuk KPK. Hal tersebut tentu sangat
berpengaruh terhadap kinerja dari KPK karena dalam menjalankan tugasnya KPK
terlebih dahulu harus menerima izin dari dewan pengawas.
A. Simpulan
1. Legalitas kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang
Nomor 19 tahun 2019 sejatinya mengalami bayak pergeseran menenai status
kedudukan KPK sebagai lembaga yang sering kali di sebut-sebut sebagai
Auxiliary State’s Organ atau lembaga negara penunjang yang dalam
menjankan tugas dan wewenagnya secara independen. Akan tetapi realitas
yang terjadi sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini mengakibatkan berbagai
macam Polemic yang Mengakibatkan KPK yang berefolusi menjadi lembaga
negara yang berada pada rumpun Eksekutif meski dalam menjalankan
tugasnya bersifat Independen. Akan tetapi hal tersebut justru melemahkan
KPK itu sendiri sebab dalam melakukan tutas-tugasnya sebagai lembaga
negara yang khusus menangani masalah yang berkaitan dengan korupsi tentu
diperlukan lembaga yang dapat bergerak cepat untuk menagani masalah
tersebut. Terlebih lagi dengan adanya badan pengas di tubuh KPK
sebagaimana yang di jelaskan dalam Pasal 21 ayat 1 yang menebutkan
mengenai jumlah anggota Dewan Pengawas tersebut.
2. Impliksi hukum yang timbul ketika Komisi Pemberantasan Korupsi
menjalankan kedudukannya sebagai lembaga negara independen atau
eksekutif yang dalam hal ini berdampak pada pemisahan kekuasaan sesuai
dengan paradigma trias politika sebab atas paradigma tersebut pemerintah
masih saja mengkotak-kotakkan lembaga negara ke tiga cabang pemisahaan
kekuasaan tersebut padahal di berbagai negara telah ditinggalkan dengan
mengadopsi memisahan kekuasaan dengan paradigma teori the new separation of
power. Selain itu, keberadaan dewan pengawas tentu membawa pengaruh yang
besar terhadap kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penyitaan. Hal ini terjadi karena KPK harus mendapatkan persetujuan terlebih
dahulu kepada dewan pengawas sebelum KPK menjalankan tugas penyidikan
penyelidikan dan penyitaan. Selanjutnya keberadaan pasal 1 ayat 6 yang
menjelaskan tentang kepegawaian KPK yang berstatus Aparatur Sipil Negara
yang tentu akan berimplikasi terhadap keterikatan antara pegawai KPK dengan
pemerintah eksekutif sehingga para pegawai yang terbilang kompeten bisa saja di
mutasi ke lembaga lain.
B. Saran
1. Seharusnya untuk melakukan penanganan terkait kasus tindak pidana
korupsi, lembaga atau badan yang telah dibuat mestinya lebih produktif
dalam menjalankan tugas yang telah di limpahkan kepada lembaga tersebut.
Kemunculan lembaga atau badan anti korupsi seperti KPK sejatinya tidak
perlu di hadirkan ketika kepolisian dan kejaksaan mampu untuk menagani
kasus-kasus korupsi yang ada di Negara Indonesoia.
2. Perubahan undang-undang yang mengatur terkait komisi pemberantasan
korupsi, harusnya lebih pempertimbangkan hal-hal yang akan terjadi jika
KPK berada pada rumpun eksekutif. Dikarenaka berdasankan analisis penulis
hal tersebut jelas akan melemahkan kinerja daripada KPK itu sendiri, selain
itu harusnya badan legislatif dalam hal ini DPR ketika mengeluarkan produk
legislasi harus melalui fakta-fakta hukum yang ada agar produk legislasi yang
dihasilkan tidak saling bertentangan. Selain itu, DPR semestinya
mempertimbangkan hasil-hasil Putusan Makhamah Konstitusi yang bersifat
final and binding.
Ketersediaan
| SSYA20210133 | 133/2021 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
133/2021
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2021
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
