Status Keperdataan Anak Yang Lahir Dari Pernikahan Siri Perspektif Fiqih Dan Hukum Positif
Riki Awal Maruf/01.17.1187 - Personal Name
Skripsi ini berjudul Status Keperdataan Anak Yang Lahir Dari Pernikahan Siri
Perspektif Fiqih Dan Hukum Positif. Tujuan penelitian ini yaitu Untuk mengetahui
status keperdataan anak dari pernikahan siri dan Untuk mengetahui dampak
penetapan asal usul anak dari perkawinan siri.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian ini
menggunakan jenis penelitian kualitatif, penelitian kualitatif merupakan penelitian
yang temuannya diperoleh berdasarkan paradigma, strategi, dan implementasi model
secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Status keperdataan anak dari pernikahan
siri, menurut Hukum Islam Nikah siri itu dikatakan sah jika telah memenuhi syarat
sahnya perkawinan dan dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya, hal ini berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam. Atau dengan kata lain perkawinan
sah menurut hukum Islam apabila memenuhi syarat dan rukun nikah. Sebelum
adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri hanya
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan
setelah adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri tidak
hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, akan tetapi dapat
pula memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya jika mendapat pengakuan dari
ayah biologisnya atau dapat di buktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
Dampak penetapan asal usul anak dari perkawinan siri terhadap anak yang dilahirkan
dari pernikahan siri tidak dapat disebutkan sebagai anak dalam pernikahan yang sah
secara hukum. Di mata hukum, status kelahirannya akan sama seperti anak diluar
nikah. Hal ini dapat kita lihat didalam pasal 42 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2016 tentang Perkawinan yang menyatakan “Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” Dan kedudukannya
didalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menyatakan
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya” jo pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Sebagai anak yang dianggap lahir diluar
perkawinan yang sah dari kedua orang tua, tetapi tetap bissa mendapatkan akta
kelahiran melalui pencatatan kelahirnya. Di dalam akta kelahiran tersebut hanya
tercantum nama ibunya, jika ingin mencantumkan nama ayahnya dalam akta maka
diperlukan penetapan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya.
A. Simpulan
1. Status keperdataan anak dari pernikahan siri, menurut Hukum Islam Nikah
siri itu dikatakan sah jika telah memenuhi syarat sahnya perkawinan dan
dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, hal
ini berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam. Atau dengan kata lain perkawinan sah
menurut hukum Islam apabila memenuhi syarat dan rukun nikah. Sebelum
adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri hanya
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluwarga ibunya.
Sedangkan setelah adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil
nikah siri tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluawarga
ibunya, akan tetapi dapat pula memiliki hubungan keperdataan dengan
ayahnya jika mendapat pengakuan dari ayah biologisnya atau dapat di
buktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Dampak penetapan asal usul anak dari perkawinan siri terhadap anak yang
dilahirkan dari pernikahan siri tidak dapat disebutkan sebagai anak dalam
pernikahan yang sah secara hukum. Di mata hukum, status kelahirannya akan
sama seperti anak diluar nikah. Hal ini dapat kita lihat didalam pasal 42
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Perkawinan yang
menyatakan “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah.” Dan kedudukannya didalam pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 yang menyatakan “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya” jo pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Sebagai anak yang
dianggap lahir diluar perkawinan yang sah dari kedua orang tua, tetapi tetap
bissa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahirnya. Di dalam
akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya, jika ingin
mencantumkan nama ayahnya dalam akta maka diperlukan penetapan sebagai
bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya. Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 46/PUU-VIII/2010 telah memungkinkan anak yang lahir diluar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan ayah
biologinya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan
ayah biologisnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah
termasuk hubungan perdara dengan keluarga ayahnya. Untuk membuktikan
asal usul dari orang tua anak yang lahir diluar perkawinan maka dilaksanakan
tes DNA.
B. Saran
1. Secara hukum, memang perkawinan di bawah tangan dianggap tidak pernah
ada hingga berdampak pada isteri atau anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut dan tidak berhak mendapatkan nafkah serta harta gono-gini jika
terjadi perceraian. Lalu bila suami meninggal dunia maka isteri tidak berhak
untuk mendapatkan warisan dari suaminya. Tetapi menurut pasal 863
KUHPerdata menentukan “Bila Pewaris meninggal dengan meninggalkan
keturunan yang sah dan atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui
mewaris 1/3 bagian, dari mereka yang sedianya harus mendapat, seandainya
mereka adalah anak sah.”. Menurut pasal 863 KUH Perdata, jika anak hasil
pernikahan siri itu diakui oleh ayahnya maka dia berhak mewarisi 1/3 bagian
dari bagian yang seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak yang
sah.
2. Permasalahan yang terjadi tidak hanya itu, jika dikemudia hari salah satu
pasangan dalam pernikah siri ingin berpisah lagi secara sah dengan orang lain,
maka status pernikahan siri ini menjadi ganjalan karena tidak adanya legalitas
berupa buku nikah sebagai bukti diakuinya pernikahan oleh negara yang
berdampak pada proses perceraian. Langkah yang harus dilakukan agar dapat
mereka dapat bercerai, dalam pasal 7 ayat 2 dan 3 huruf a Kompilasi Hukum
Islam
Perspektif Fiqih Dan Hukum Positif. Tujuan penelitian ini yaitu Untuk mengetahui
status keperdataan anak dari pernikahan siri dan Untuk mengetahui dampak
penetapan asal usul anak dari perkawinan siri.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian ini
menggunakan jenis penelitian kualitatif, penelitian kualitatif merupakan penelitian
yang temuannya diperoleh berdasarkan paradigma, strategi, dan implementasi model
secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Status keperdataan anak dari pernikahan
siri, menurut Hukum Islam Nikah siri itu dikatakan sah jika telah memenuhi syarat
sahnya perkawinan dan dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya, hal ini berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam. Atau dengan kata lain perkawinan
sah menurut hukum Islam apabila memenuhi syarat dan rukun nikah. Sebelum
adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri hanya
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan
setelah adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri tidak
hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, akan tetapi dapat
pula memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya jika mendapat pengakuan dari
ayah biologisnya atau dapat di buktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
Dampak penetapan asal usul anak dari perkawinan siri terhadap anak yang dilahirkan
dari pernikahan siri tidak dapat disebutkan sebagai anak dalam pernikahan yang sah
secara hukum. Di mata hukum, status kelahirannya akan sama seperti anak diluar
nikah. Hal ini dapat kita lihat didalam pasal 42 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2016 tentang Perkawinan yang menyatakan “Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” Dan kedudukannya
didalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menyatakan
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya” jo pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Sebagai anak yang dianggap lahir diluar
perkawinan yang sah dari kedua orang tua, tetapi tetap bissa mendapatkan akta
kelahiran melalui pencatatan kelahirnya. Di dalam akta kelahiran tersebut hanya
tercantum nama ibunya, jika ingin mencantumkan nama ayahnya dalam akta maka
diperlukan penetapan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya.
A. Simpulan
1. Status keperdataan anak dari pernikahan siri, menurut Hukum Islam Nikah
siri itu dikatakan sah jika telah memenuhi syarat sahnya perkawinan dan
dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, hal
ini berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam. Atau dengan kata lain perkawinan sah
menurut hukum Islam apabila memenuhi syarat dan rukun nikah. Sebelum
adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri hanya
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluwarga ibunya.
Sedangkan setelah adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil
nikah siri tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluawarga
ibunya, akan tetapi dapat pula memiliki hubungan keperdataan dengan
ayahnya jika mendapat pengakuan dari ayah biologisnya atau dapat di
buktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Dampak penetapan asal usul anak dari perkawinan siri terhadap anak yang
dilahirkan dari pernikahan siri tidak dapat disebutkan sebagai anak dalam
pernikahan yang sah secara hukum. Di mata hukum, status kelahirannya akan
sama seperti anak diluar nikah. Hal ini dapat kita lihat didalam pasal 42
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Perkawinan yang
menyatakan “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah.” Dan kedudukannya didalam pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 yang menyatakan “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya” jo pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Sebagai anak yang
dianggap lahir diluar perkawinan yang sah dari kedua orang tua, tetapi tetap
bissa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahirnya. Di dalam
akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya, jika ingin
mencantumkan nama ayahnya dalam akta maka diperlukan penetapan sebagai
bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya. Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 46/PUU-VIII/2010 telah memungkinkan anak yang lahir diluar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan ayah
biologinya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan
ayah biologisnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah
termasuk hubungan perdara dengan keluarga ayahnya. Untuk membuktikan
asal usul dari orang tua anak yang lahir diluar perkawinan maka dilaksanakan
tes DNA.
B. Saran
1. Secara hukum, memang perkawinan di bawah tangan dianggap tidak pernah
ada hingga berdampak pada isteri atau anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut dan tidak berhak mendapatkan nafkah serta harta gono-gini jika
terjadi perceraian. Lalu bila suami meninggal dunia maka isteri tidak berhak
untuk mendapatkan warisan dari suaminya. Tetapi menurut pasal 863
KUHPerdata menentukan “Bila Pewaris meninggal dengan meninggalkan
keturunan yang sah dan atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui
mewaris 1/3 bagian, dari mereka yang sedianya harus mendapat, seandainya
mereka adalah anak sah.”. Menurut pasal 863 KUH Perdata, jika anak hasil
pernikahan siri itu diakui oleh ayahnya maka dia berhak mewarisi 1/3 bagian
dari bagian yang seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak yang
sah.
2. Permasalahan yang terjadi tidak hanya itu, jika dikemudia hari salah satu
pasangan dalam pernikah siri ingin berpisah lagi secara sah dengan orang lain,
maka status pernikahan siri ini menjadi ganjalan karena tidak adanya legalitas
berupa buku nikah sebagai bukti diakuinya pernikahan oleh negara yang
berdampak pada proses perceraian. Langkah yang harus dilakukan agar dapat
mereka dapat bercerai, dalam pasal 7 ayat 2 dan 3 huruf a Kompilasi Hukum
Islam
Ketersediaan
| SSYA20220280 | 280/2022 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
280/2022
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2022
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
