Analisis Hukum Menikahi Wanita Hamil Menurut Ulama Syafi'iyah Dan Pasal 53 KHI
Fatimah Zahrah/ 01.17.1212 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang “Analisis Hukum Menikahi Wanita Hamil
Menurut Ulama Syafi’iyah dan Pasal 53 KHI. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya
perkawinan yang didahului kehamilan karena zina sebelumnya. Tujuan Penelitian ini
adalah untuk mengetahui hukum menikahi wanita hamil menurut Ulama Syafi’iyah dan
Pasal 53 KHI dan analisis hukum menikahi wanita hamil menurut Ulama Syafi’iyah dan
Pasal 53 KHI.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, metode yang digunakan penulis adalah
metode penelitian kualitatif dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library
reseach) yaitu dengan menelusuri literatur atau sumber-sumber data yang berasal dari
buku-buku, kitab-kitab dan lainnya sesuai dengan tema yang dibahas. Dari hasil
mengolah dan menganalisis data yang telah diperoleh, pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan teologis normatif dan pendekatan yuridis. Adapun teknik analisis
data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kualitatif dan analisis komparatif.
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, dari hasil penelitian bahwa
hukum menikahi wanita hamil menurut Ulama Syafi’iyah dikatakan sah baik pria yang
menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya. Begitupun menurut KHI
mengatakan sah, tetapi hanya dapat dinikahi oleh pria yang menghamilinya
sebagaimana pada Pasal 53 ayat (1) bahwa : Seorang wanita hamil di luar nikah dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
Analisis hukum menikahi wanita hamil Menurut Ulama Syafi’iyah bahwa
perkawinan akibat hamil luar nikah adalah sah, perkawinan boleh dilangsungkan ketika
wanita sedang dalam keadaan hamil, baik perkawinan dengan laki-laki yang
menghamilinya atau laki-laki yang bukan menghamilinya. Hal ini juga sejalan dengan
pendapat Imam Hanafi. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 ayat (1)
hanya saja dapat dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya, yang membedakannya
apabila ingin dinikahi oleh laki-laki yang bukan menghamilinya maka dianggap tidak
sah.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian penulis, maka dapat diambil sebagai
kesimpulan antara lain:
1. Ulama Syāfī’i mengatakan sah perkawinan wanita hamil di luar nikah
dengan laki-laki menghamilinya maupun laki-laki yang bukan
menghamilinya. Argumentasi Imam Syāfī’i yang membolehkan perkawinan
wanita yang menikah karena zina ini bukanlah termasuk wanita yang haram
dinikahi sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Sedangkan
KHI berpendapat bahwa hukumnya adalah sah menikahi wanita hamil akibat
zina bila yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya. Namun,
apabila yang menikahi wanita tersebut adalah bukan lelaki yang
menghamilinya maka hukumnya tidak sah.
2. Mengenai analisis hukum menikahi wanita hamil, KHI sejalan dengan
pendapat ulama Syafi’i yang sependapat juga dengan Imam Hanafi yang
membolehkan perkawinan wanita hamil dengan laki-laki menghamilinya
maupun laki-laki yang bukan menghamilinya. Namun kebolehan perkawinan
dalam KHI itu khusus dengan laki-laki yang menghamili wanita tersebut.
Yang membedakannya apabila ingin dinikahi oleh laki-laki yang bukan
menghamilinya maka dianggap tidak sah.
B.mSaran
Berdasarkan kesimpulan penulis, dapat dikemukakan beberapa saran
kepada instansi terkait antara lain:
1. Kepada orang tua diharapkan dapat membimbing anak-anaknya dengan
mengajarkan dan menanamkan norma-norma agama untuk menghindari
terjadinya perkawinan hamil di luar nikah.
2. Kepada para pejabat lembaga Peradilan Agama, KUA, serta para akademisi,
kiranya perlu adanya upaya sosialisasi kepada masyarakat mengenai dampak
negatif yang ditimbulkan dari kawin hamil, sehingga masyarakat tidak salah
pemahaman mengenai adanya ketentuan kebolehan kawin hamil dalam Pasal
53 KHI dengan pemaknaan sebagai celah legalisasi perzinaan berpayung
hukum.
Menurut Ulama Syafi’iyah dan Pasal 53 KHI. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya
perkawinan yang didahului kehamilan karena zina sebelumnya. Tujuan Penelitian ini
adalah untuk mengetahui hukum menikahi wanita hamil menurut Ulama Syafi’iyah dan
Pasal 53 KHI dan analisis hukum menikahi wanita hamil menurut Ulama Syafi’iyah dan
Pasal 53 KHI.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, metode yang digunakan penulis adalah
metode penelitian kualitatif dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library
reseach) yaitu dengan menelusuri literatur atau sumber-sumber data yang berasal dari
buku-buku, kitab-kitab dan lainnya sesuai dengan tema yang dibahas. Dari hasil
mengolah dan menganalisis data yang telah diperoleh, pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan teologis normatif dan pendekatan yuridis. Adapun teknik analisis
data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kualitatif dan analisis komparatif.
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, dari hasil penelitian bahwa
hukum menikahi wanita hamil menurut Ulama Syafi’iyah dikatakan sah baik pria yang
menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya. Begitupun menurut KHI
mengatakan sah, tetapi hanya dapat dinikahi oleh pria yang menghamilinya
sebagaimana pada Pasal 53 ayat (1) bahwa : Seorang wanita hamil di luar nikah dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
Analisis hukum menikahi wanita hamil Menurut Ulama Syafi’iyah bahwa
perkawinan akibat hamil luar nikah adalah sah, perkawinan boleh dilangsungkan ketika
wanita sedang dalam keadaan hamil, baik perkawinan dengan laki-laki yang
menghamilinya atau laki-laki yang bukan menghamilinya. Hal ini juga sejalan dengan
pendapat Imam Hanafi. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 ayat (1)
hanya saja dapat dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya, yang membedakannya
apabila ingin dinikahi oleh laki-laki yang bukan menghamilinya maka dianggap tidak
sah.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian penulis, maka dapat diambil sebagai
kesimpulan antara lain:
1. Ulama Syāfī’i mengatakan sah perkawinan wanita hamil di luar nikah
dengan laki-laki menghamilinya maupun laki-laki yang bukan
menghamilinya. Argumentasi Imam Syāfī’i yang membolehkan perkawinan
wanita yang menikah karena zina ini bukanlah termasuk wanita yang haram
dinikahi sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Sedangkan
KHI berpendapat bahwa hukumnya adalah sah menikahi wanita hamil akibat
zina bila yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya. Namun,
apabila yang menikahi wanita tersebut adalah bukan lelaki yang
menghamilinya maka hukumnya tidak sah.
2. Mengenai analisis hukum menikahi wanita hamil, KHI sejalan dengan
pendapat ulama Syafi’i yang sependapat juga dengan Imam Hanafi yang
membolehkan perkawinan wanita hamil dengan laki-laki menghamilinya
maupun laki-laki yang bukan menghamilinya. Namun kebolehan perkawinan
dalam KHI itu khusus dengan laki-laki yang menghamili wanita tersebut.
Yang membedakannya apabila ingin dinikahi oleh laki-laki yang bukan
menghamilinya maka dianggap tidak sah.
B.mSaran
Berdasarkan kesimpulan penulis, dapat dikemukakan beberapa saran
kepada instansi terkait antara lain:
1. Kepada orang tua diharapkan dapat membimbing anak-anaknya dengan
mengajarkan dan menanamkan norma-norma agama untuk menghindari
terjadinya perkawinan hamil di luar nikah.
2. Kepada para pejabat lembaga Peradilan Agama, KUA, serta para akademisi,
kiranya perlu adanya upaya sosialisasi kepada masyarakat mengenai dampak
negatif yang ditimbulkan dari kawin hamil, sehingga masyarakat tidak salah
pemahaman mengenai adanya ketentuan kebolehan kawin hamil dalam Pasal
53 KHI dengan pemaknaan sebagai celah legalisasi perzinaan berpayung
hukum.
Ketersediaan
| SSYA20210037 | 37/2021 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
37/2021
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2021
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
