Efektivitas Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Dalam Penuntasan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia (Studi Pengadilan HAM Makassar)
A.Yulia Yunara/01.15. 4262 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam menyelesaikan
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah terjadi. Pokok permasalahan adalah
bagaimana efektivitas penerapan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam penuntasan pelanggaran hak asasi manusia
di Indonesia dan faktor yang menjadi kendala dalam penerapan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam penegakan
kasus hak asasi manusia di Indonesia .
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penerapan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
dalam penuntasan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dan faktor yang
menjadi kendala dalam penerapan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam penegakan kasus hak asasi
manusia di Indonesia. Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan
dengan menggunakan pendekatan normatif empiris dan dibahas dengan
menggunakan metode kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1 ) Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) dalam
penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia khususnya di Pengadilan
HAM Makassar belum bisa dikatakan efektif. Hukum acaranya pada tahap
penyelidikan, tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan dalam kasus
pelanggaran HAM sebagian besar aturannya masih menginduk pada KUHAP.
Padahal di sisi lain, kasus pelanggaran HAM memiliki karakteristik tersendiri. Selain
itu, ketidakjelasan unsur rumusan di dalam pengertian kejahatan terhadap
kemanusiaan, tidak ada mekanisme menyelesaikan perbedaan pendapat antara
Komnas HAM selaku penyilidik dan Jaksa Agung selaku penyidik. Komnas HAM
sesuai dengan keahliannya seringkali menggunakan perspektif HAM bagi sebuah
kejahatan luar biasa/berat sedangkan Kejaksaan Agung melihatnya dari kacamata
hukum pidana biasa. (2) Faktor penghambat dari pelaksanaan UU Pengadilan HAM
yaitu: (a) Aturan hukum yang digunakan masih menimbulkan multitafsir dalam
penerapannya. (b) Penegak hukum dalam hal ini hakim dalam berfungisnya hukum,
kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik berarti ada masalah.
(c) sarana dan fasilitas pendukung dimana Pengadilan HAM tidak memiliki Hakim
dibidang HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dilakukan penunjukan
Hakim Ad hoc yang dipilih berdasarkan dari kompetensi hakim. (d) Kesadaran
masyarakat dalam mematuhi hukum dan pemahamannya masyarakat tentang HAM
masih minim dan (e) budaya hukum seringkali masyarakat tidak mau mematuhi
peraturan yang ada sehingga dapat menghambat dalam penegakan peraturan.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pokok masalah yang telah dibahas oleh
penulis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia
khususnya di Pengadilan HAM Makassar belum bisa dikatakan efektif.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia pada hukum acaranya pada tahap penyelidikan, tahap penyidikan,
penuntutan dan persidangan dalam kasus pelanggaran HAM sebagian besar
aturannya masih menginduk pada KUHAP. Padahal di sisi lain, kasus
pelanggaran HAM memiliki karakteristik tersendiri. Selain itu, ketidakjelasan
unsur rumusan di dalam pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak
ada mekanisme menyelesaikan perbedaan pendapat antara Komnas HAM
selaku penyilidik dan Jaksa Agung selaku penyidik. Komnas HAM sesuai
dengan keahliannya seringkali menggunakan perspektif HAM bagi sebuah
kejahatan luar biasa/berat sedangkan Kejaksaan Agung melihatnya dari
kacamata hukum pidana biasa.
2. Faktor penghambat dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu: (a) Aturan hukum
yang digunakan masih menimbulkan multitafsir dalam penerapannya. (b)
Penegak hukum dalam hal ini hakim dalam berfungisnya hukum, kalau
peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik berarti ada masalah.
(c) sarana dan fasilitas pendukung dimana Pengadilan HAM tidak memiliki
Hakim dibidang HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dilakukan
penunjukan Hakim Ad hoc yang dipilih berdasarkan dari kompetensi
hakim. (d) Kesadaran masyarakat dalam mematuhi hukum dan
pemahamannya masyarakat tentang HAM masih minim dan (e) budaya
hukum seringkali masyarakat tidak mau mematuhi peraturan yang ada
sehingga dapat menghambat dalam penegakan peraturan.
B. Implikasi
Berdasarkan dengan hasil penelitian, maka beberapa implikasi dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. Aparat pemerintah khususnya para pembuat undang-undang (DPR) agar
kiranya melakukan perbaikan terhadap isi dari Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia agar tidak menimbulkan
multitafsir dalam pelaksanaannya.
2. Proses pengadilan kepada para pelanggar HAM harus dapat berjalan dengan
lebih baik di masa mendatang. Proses pengadilan harus dapat berjalan lebih
adil, cepat dan efisien agar terdakwa pelanggar HAM mendapat hukuman
yang sesuai.
3. Aparat pemerintah diharapkan adanya sosialisasi undang-undang khususnya
HAM sehingga masyarakat dapat mengetahui peraturan yang ada dan dapat
pula menambah pengetahuan bagi masyarakat tentang HAM.
4. Pemerintah/penegak hukum harus terus memproses penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran HAM berat yang sampai saat ini belum terselesaikan.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam menyelesaikan
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah terjadi. Pokok permasalahan adalah
bagaimana efektivitas penerapan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam penuntasan pelanggaran hak asasi manusia
di Indonesia dan faktor yang menjadi kendala dalam penerapan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam penegakan
kasus hak asasi manusia di Indonesia .
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penerapan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
dalam penuntasan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dan faktor yang
menjadi kendala dalam penerapan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam penegakan kasus hak asasi
manusia di Indonesia. Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan
dengan menggunakan pendekatan normatif empiris dan dibahas dengan
menggunakan metode kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1 ) Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) dalam
penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia khususnya di Pengadilan
HAM Makassar belum bisa dikatakan efektif. Hukum acaranya pada tahap
penyelidikan, tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan dalam kasus
pelanggaran HAM sebagian besar aturannya masih menginduk pada KUHAP.
Padahal di sisi lain, kasus pelanggaran HAM memiliki karakteristik tersendiri. Selain
itu, ketidakjelasan unsur rumusan di dalam pengertian kejahatan terhadap
kemanusiaan, tidak ada mekanisme menyelesaikan perbedaan pendapat antara
Komnas HAM selaku penyilidik dan Jaksa Agung selaku penyidik. Komnas HAM
sesuai dengan keahliannya seringkali menggunakan perspektif HAM bagi sebuah
kejahatan luar biasa/berat sedangkan Kejaksaan Agung melihatnya dari kacamata
hukum pidana biasa. (2) Faktor penghambat dari pelaksanaan UU Pengadilan HAM
yaitu: (a) Aturan hukum yang digunakan masih menimbulkan multitafsir dalam
penerapannya. (b) Penegak hukum dalam hal ini hakim dalam berfungisnya hukum,
kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik berarti ada masalah.
(c) sarana dan fasilitas pendukung dimana Pengadilan HAM tidak memiliki Hakim
dibidang HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dilakukan penunjukan
Hakim Ad hoc yang dipilih berdasarkan dari kompetensi hakim. (d) Kesadaran
masyarakat dalam mematuhi hukum dan pemahamannya masyarakat tentang HAM
masih minim dan (e) budaya hukum seringkali masyarakat tidak mau mematuhi
peraturan yang ada sehingga dapat menghambat dalam penegakan peraturan.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pokok masalah yang telah dibahas oleh
penulis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia
khususnya di Pengadilan HAM Makassar belum bisa dikatakan efektif.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia pada hukum acaranya pada tahap penyelidikan, tahap penyidikan,
penuntutan dan persidangan dalam kasus pelanggaran HAM sebagian besar
aturannya masih menginduk pada KUHAP. Padahal di sisi lain, kasus
pelanggaran HAM memiliki karakteristik tersendiri. Selain itu, ketidakjelasan
unsur rumusan di dalam pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak
ada mekanisme menyelesaikan perbedaan pendapat antara Komnas HAM
selaku penyilidik dan Jaksa Agung selaku penyidik. Komnas HAM sesuai
dengan keahliannya seringkali menggunakan perspektif HAM bagi sebuah
kejahatan luar biasa/berat sedangkan Kejaksaan Agung melihatnya dari
kacamata hukum pidana biasa.
2. Faktor penghambat dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu: (a) Aturan hukum
yang digunakan masih menimbulkan multitafsir dalam penerapannya. (b)
Penegak hukum dalam hal ini hakim dalam berfungisnya hukum, kalau
peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik berarti ada masalah.
(c) sarana dan fasilitas pendukung dimana Pengadilan HAM tidak memiliki
Hakim dibidang HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dilakukan
penunjukan Hakim Ad hoc yang dipilih berdasarkan dari kompetensi
hakim. (d) Kesadaran masyarakat dalam mematuhi hukum dan
pemahamannya masyarakat tentang HAM masih minim dan (e) budaya
hukum seringkali masyarakat tidak mau mematuhi peraturan yang ada
sehingga dapat menghambat dalam penegakan peraturan.
B. Implikasi
Berdasarkan dengan hasil penelitian, maka beberapa implikasi dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. Aparat pemerintah khususnya para pembuat undang-undang (DPR) agar
kiranya melakukan perbaikan terhadap isi dari Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia agar tidak menimbulkan
multitafsir dalam pelaksanaannya.
2. Proses pengadilan kepada para pelanggar HAM harus dapat berjalan dengan
lebih baik di masa mendatang. Proses pengadilan harus dapat berjalan lebih
adil, cepat dan efisien agar terdakwa pelanggar HAM mendapat hukuman
yang sesuai.
3. Aparat pemerintah diharapkan adanya sosialisasi undang-undang khususnya
HAM sehingga masyarakat dapat mengetahui peraturan yang ada dan dapat
pula menambah pengetahuan bagi masyarakat tentang HAM.
4. Pemerintah/penegak hukum harus terus memproses penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran HAM berat yang sampai saat ini belum terselesaikan.
Ketersediaan
| SS20190140 | 140/2019 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
140/2019
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2019
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
