Analisis Disparitas Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia (Studi Putusan MK No. 012-016-019/ PUU-IV/ 2006 dan Putusan MK No. 36/ PUU-XV/ 2017 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.)
Nur Faiqah Aireen/ 01.16.4011 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang “Analisis Disparitas Putusan Mahkamah
Konstitusi Terhadap Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia (Studi
Putusan MK No. 012-016-019/ PUU-IV/ 2006 dan Putusan MK No. 36/ PUU-XV/
2017 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi)”. Rumusan masalah yang dibahas
dalam skripsi ini yaitu bagaimana kedudukan komisi pemberantasan korupsi dalam
struktur kelembagaan negara Indonesia, bagaimana kedudukan komisi pemberantasan
korupsi berdasarkan Putusan MK No. 012-016-019/ PUU-IV/ 2006 dan Putusan MK
No. 36/ PUU-XV/ 2017.
Untuk memudahkan pemecahan masalah tersebut di atas digunakan penelitian
pustaka (library research) dengan menggunakan disiplin ilmu yang dapat dijadikan
pendekatan penelitian yaitu pendekatan yuridis normatif, kemudian dianalisis dengan
menggunakan metode pengolahan dan analisis bahan hukum, sehingga akan ditemukan
prinsip-prinsip pengaturan yang menjadi materi muatan dari ketentuan perundang-
undangan dan putusan hakim, dengan cara menganilisis isi dan melakukan penafsiran
terhadap bahan hukum primer sesuai dengan konteks ruang dan waktu dokumen
tersebut dibuat yang diperoleh dari bahan hukum sekunder. Setelah itu dilakukan
analisis deskriptif-analitis.
Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, kedudukan komisi
pemberantasan korupsi dalam struktur kelembagaan negara, adalah termasuk lembaga
negara yang bersifat skunder yang dibentuk pada era reformasi di Indonesia sebagai
salah satu bagian dari agenda pemberantasan korupsi berdasarkan hirarki perundang-
undangan, atau secara yuridis pembentukan dan pemberian wewenang merupakan
ketentuan dari pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pembarantasan Tindak Pidana Korupsi, dan melalui Undang-undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya,
kedudukan komisi pemberantasan korupsi berdasarkan Putusan MK No. 012-016-019/
PUU-IV/ 2006 menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan
lembaga pada ranah di bawah kekuasaaan kehakiman yang dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya secara independen. Sedangkan pada Putusan MK No. 36/ PUU-XV/
2017 menjelaskan bahwa dalam pandangan mahkamah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sebenarnya merupakan lembaga negara yang bergerak pada ranah
eksekutif, yang melaksanakan fungsi-fungsi domain eksekutif yakni penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan. Komisi Pemberantasan Korupsi jelas bukan bagian dari
yudikatif karena bukan badan pengadilan yang memiliki wewenang mengadili dan
memutus perkara.
A. Simpulan
1. Dalam lembaga negara dapat dibedakan menjadi dua segi, yaitu dari
segi fungsi dan hirarkinya atau kedudukan sebuah lembaga negara dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia. Hirarki antar lembaga negara itu sangat
penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan
hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam sebuah lembaga negara.
Sehingga dapat dilihat mana lembaga negara yang lebih tinggi mana yang lebih
rendah. Untuk itu ada dua kriteria yang dapat dipakai yaitu kriteria hirarki
bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya dan kualitas
fungsinya. Yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan
negara. Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan berdasarkan dari
segi fungsinya bahwa terdapat 34 lembaga negara tersebut ada yang bersifat
utama atau primer dan ada pula yang bersifat skunder atau penunjang. Salah
satu lembaga negara baru atau yang sering disebut sebagai lembaga negara
bantu yang dibentuk pada era reformasi di Indonesia adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu
bagian dari agenda pemberantasan korupsi. Berdasarkan hierarki perundang-
undangan, maka landasan yuridis pembentukan dan pemberian wewenang
merupakan ketentuan dari Pasal 43 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan
melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lembaga ini pun sah didirikan
dan memiliki legitimasi untuk menjalankan tugasnya sebagai lemabaga negara
yang membrantas tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) adalah lembaga negara bantu yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun.
2. Berdasarkan konsideran pada kedua putusan tersebut yaitu putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-VI/2006 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 yang memiliki perbedaan putusan yang
pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-VI/2006
menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan
lembaga pada ranah dibawah kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya secara independen. Sedangkan pada putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 menjelaskan bahwa dalam
pandangan mahkamah Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sebenarnya
merupakan lembaga negara yang bergerak pada ranah eksekutif, yang
melaksanakan fungsi-fungsi domain eksekutif yakni penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan. Komisi Pemberantas Korupsi jelas bukan bagian dari
yudikatif karena bukan badan pengadilan yang memiliki wewenang mengadili
dan memutus perkara. Bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun. Posisinya yang berasa diranah eksekutif, tidak berarti membuat
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak independen dan bebas dari
kekuasaan manapun. Dalam Putusan tersebut independi dan bebasnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dari pengaruh kekuasaan manapun adalah
dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya.
B. Saran
1. Idealnya para hakim Mahkamah Konstitusi dalam mengambil keputusan harus
konsisten saat memilih teori apa yang hendak digunakan dalam menafsir
konstitusi agar tidak menghasilkan keputusan bersifat disparitas dengan
keputusan sebelumnya untuk menciptakan kepastian hukum. Terjadi disparitas
putusan yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi terhadap beberapa putusan
sebelumnya mengakibatkan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) harus mengalami anomali atau ketidakjelasan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.
2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya dimasukkan dalam organ
konstitusi melalui amandemen ke V Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menjelaskan mengenai kedudukan,
kewenangan dan hubungannya dengan lembaga lain agar kewenangannya
tidak tumpang tindih dengan lembaga negaraa lain dan status kedudukan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu jelas.
Konstitusi Terhadap Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia (Studi
Putusan MK No. 012-016-019/ PUU-IV/ 2006 dan Putusan MK No. 36/ PUU-XV/
2017 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi)”. Rumusan masalah yang dibahas
dalam skripsi ini yaitu bagaimana kedudukan komisi pemberantasan korupsi dalam
struktur kelembagaan negara Indonesia, bagaimana kedudukan komisi pemberantasan
korupsi berdasarkan Putusan MK No. 012-016-019/ PUU-IV/ 2006 dan Putusan MK
No. 36/ PUU-XV/ 2017.
Untuk memudahkan pemecahan masalah tersebut di atas digunakan penelitian
pustaka (library research) dengan menggunakan disiplin ilmu yang dapat dijadikan
pendekatan penelitian yaitu pendekatan yuridis normatif, kemudian dianalisis dengan
menggunakan metode pengolahan dan analisis bahan hukum, sehingga akan ditemukan
prinsip-prinsip pengaturan yang menjadi materi muatan dari ketentuan perundang-
undangan dan putusan hakim, dengan cara menganilisis isi dan melakukan penafsiran
terhadap bahan hukum primer sesuai dengan konteks ruang dan waktu dokumen
tersebut dibuat yang diperoleh dari bahan hukum sekunder. Setelah itu dilakukan
analisis deskriptif-analitis.
Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, kedudukan komisi
pemberantasan korupsi dalam struktur kelembagaan negara, adalah termasuk lembaga
negara yang bersifat skunder yang dibentuk pada era reformasi di Indonesia sebagai
salah satu bagian dari agenda pemberantasan korupsi berdasarkan hirarki perundang-
undangan, atau secara yuridis pembentukan dan pemberian wewenang merupakan
ketentuan dari pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pembarantasan Tindak Pidana Korupsi, dan melalui Undang-undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya,
kedudukan komisi pemberantasan korupsi berdasarkan Putusan MK No. 012-016-019/
PUU-IV/ 2006 menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan
lembaga pada ranah di bawah kekuasaaan kehakiman yang dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya secara independen. Sedangkan pada Putusan MK No. 36/ PUU-XV/
2017 menjelaskan bahwa dalam pandangan mahkamah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sebenarnya merupakan lembaga negara yang bergerak pada ranah
eksekutif, yang melaksanakan fungsi-fungsi domain eksekutif yakni penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan. Komisi Pemberantasan Korupsi jelas bukan bagian dari
yudikatif karena bukan badan pengadilan yang memiliki wewenang mengadili dan
memutus perkara.
A. Simpulan
1. Dalam lembaga negara dapat dibedakan menjadi dua segi, yaitu dari
segi fungsi dan hirarkinya atau kedudukan sebuah lembaga negara dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia. Hirarki antar lembaga negara itu sangat
penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan
hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam sebuah lembaga negara.
Sehingga dapat dilihat mana lembaga negara yang lebih tinggi mana yang lebih
rendah. Untuk itu ada dua kriteria yang dapat dipakai yaitu kriteria hirarki
bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya dan kualitas
fungsinya. Yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan
negara. Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan berdasarkan dari
segi fungsinya bahwa terdapat 34 lembaga negara tersebut ada yang bersifat
utama atau primer dan ada pula yang bersifat skunder atau penunjang. Salah
satu lembaga negara baru atau yang sering disebut sebagai lembaga negara
bantu yang dibentuk pada era reformasi di Indonesia adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu
bagian dari agenda pemberantasan korupsi. Berdasarkan hierarki perundang-
undangan, maka landasan yuridis pembentukan dan pemberian wewenang
merupakan ketentuan dari Pasal 43 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan
melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lembaga ini pun sah didirikan
dan memiliki legitimasi untuk menjalankan tugasnya sebagai lemabaga negara
yang membrantas tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) adalah lembaga negara bantu yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun.
2. Berdasarkan konsideran pada kedua putusan tersebut yaitu putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-VI/2006 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 yang memiliki perbedaan putusan yang
pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-VI/2006
menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan
lembaga pada ranah dibawah kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya secara independen. Sedangkan pada putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 menjelaskan bahwa dalam
pandangan mahkamah Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sebenarnya
merupakan lembaga negara yang bergerak pada ranah eksekutif, yang
melaksanakan fungsi-fungsi domain eksekutif yakni penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan. Komisi Pemberantas Korupsi jelas bukan bagian dari
yudikatif karena bukan badan pengadilan yang memiliki wewenang mengadili
dan memutus perkara. Bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun. Posisinya yang berasa diranah eksekutif, tidak berarti membuat
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak independen dan bebas dari
kekuasaan manapun. Dalam Putusan tersebut independi dan bebasnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dari pengaruh kekuasaan manapun adalah
dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya.
B. Saran
1. Idealnya para hakim Mahkamah Konstitusi dalam mengambil keputusan harus
konsisten saat memilih teori apa yang hendak digunakan dalam menafsir
konstitusi agar tidak menghasilkan keputusan bersifat disparitas dengan
keputusan sebelumnya untuk menciptakan kepastian hukum. Terjadi disparitas
putusan yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi terhadap beberapa putusan
sebelumnya mengakibatkan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) harus mengalami anomali atau ketidakjelasan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.
2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya dimasukkan dalam organ
konstitusi melalui amandemen ke V Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menjelaskan mengenai kedudukan,
kewenangan dan hubungannya dengan lembaga lain agar kewenangannya
tidak tumpang tindih dengan lembaga negaraa lain dan status kedudukan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu jelas.
Ketersediaan
| SSYA20200044 | 44/2020 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
44/2020
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2020
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
