Kedudukan Wanita yang di Talak Tiga di Luar Pengadilan Berdasarkan Perspektif Fikih dan Hukum Positif.
Muh.Aswan/01.16.1076 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang “ Talak Tiga Yang dilakukan Kepada Wanita di
Luar Pengadilan Berdasarkan Pandangan Fikih dan Hukum Positif ”. Pada dasarnya
hak mutlak menjatuhkan talak ada pada suami sebagaimana dalam Fikih, jika suami
sudah mengucapkan kata talak terhadap istri maka sudah dikatakan jatuh talak,
namun dalam Hukum Positif ( Undang-undang dan KHI) juga diatur tentang talak
dimana dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 115 menegaskan bahwa
“perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah
pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak”.
Dari perbedaan aturan hukum tersebut maka peneliti mengadakan penelitian
ini dengan tujuan untuk mengetahui kedudukan seorang wanita apabila di talak di
luar Pengadilan berdasarkan tinjauan Fikih maupun Hukum Positif, dengan
menggunakan metode penelitian pustaka (Library Research), dengan menggunakan
teknik pengutipan, dan data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan deskriptif kualitatif dan teknik analisis isi.
Berdasarkan hasil penelitian Pertama, Para ulama dan kyai telah memasukkan
Hukum Islam atau Fikih dalam undang-undang perkawinan untuk umat Islam di
Indonesia. Dengan adanya ketentuan Undang-undang yang mengatur bahwa talak
harus diucapkan di depan sidang Pengadilan Agama, maka wanita yang di talak oleh
suami di luar sidang Pengadilan adalah batal atau tidak sah, jadi wanita tersebut
masih berstatus sebagai istri yang sah, bukan mantan istri atau janda. Pendapat ini
didasarkan pada kaidah Fikih yang berbunyi “Hukumul hakim ilzamun wa yarfa’ul
khilaf”, artinya peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Negara bersifat
mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat. Kedua, Hukum Positif atau
Undang-undang perkawinan dan KHI tidak bertentangan dengan Fikih, jadi dengan
berlakunya ketentuan UUP seharusnya menghilangkan pertentangan di tengah-tengah
masyarakat tentang talak di luar pengadilan, karena hal demikian telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan bahwa Talak harus diucapkan di depan sidang
Pengadilan Agama. Sehingga apabila seorang wanita di Talak di luar Pengadilan
tidak di anggap sah dan tidak memiliki kekuatan Hukum. Artinya wanita tersebut
masih berstatus sebagai istri sah.
A. Kesimpulan
1. Perspektif fikih tentang perceraian di luar pengadilan menurut jumhur ulama
berpendapat bahwa perceraian tersebut jatuh pendapat ini mengambil
landasan dari Hadis nabi yang menyatakan "Tiga hal yang sungguh-
sungguhnya jadi sungguhan, dan main-mainnya pun jadi sungguhan pula.
Tiga hal itu adalah nikah, talak, dan rujuk". Tetapi ada juga yang berpendapat
tidak sah seperti Al-Baqir dan Jakfar Al-Shadiq, begitu pula Imam Ahmad
dan Malik karena kebolehan talak adalah sebagai alternatif terakhir, Islam
menunjukkan agar sebelum terjadinya talak atau perceraian, ditempuh usaha-
usaha perdamaian antara kedua belah pihak melalui hakam (arbitrator) dari
kedua belah pihak. Dalam prinsip Islam perceraian adalah dilarang ini di
dasarkan pada isyarat nabi sesuatu yang halal tetapi di benci oleh Allah adalah
cerai.
2. Hukum Positif atau Undang-undang Perkawinan dan KHI tidak bertentangan
dengan fikih, jadi dengan berlakunya ketentuan UUP seharusnya
menghilangkan pertentangan di tengah-tengah masyarakat tentang talak di
luar Pengadilan, karena hal demikian telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan bahwa talak harus diucapkan di depan sidang Pengadilan Agama.
Sehingga apabila seorang wanita di talak di luar Pengadilan tidak dianggap
sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Artinya wanita tersebut masih
berstatus sebagai istri sah.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian di atas, adapun yang menjadi saran dari
penulis sebagai berikut:
1. Diharapkan agar hasil dari penelitian ini dapat menjadi sumbangsi pemikiran
kepada masyarakat bahwa hukum positif tidak bertentangan dengan fikih.
Sebab dalam pembuatan Undang-Undang, para ulama dan kyai tergabung
dalam DPR untuk merumuskan Undang-undang Perkawinan, dan mereka
telah melakukan ijtihad sedemikian rupa sehingga Undang-undang
perkawinan tidak ada yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam.
2. Agar talak di luar Pengadilan dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan
dari keragaman masyarakat pada umumnya, penulis memberikan saran kepada
para ahli hukum agar melakukan konsultasi hukum serta bimbingan hukum
secara komprehansif kepada masyarakat dalam advokasi litigasi ataupun
birokrasi yang tepat.
Luar Pengadilan Berdasarkan Pandangan Fikih dan Hukum Positif ”. Pada dasarnya
hak mutlak menjatuhkan talak ada pada suami sebagaimana dalam Fikih, jika suami
sudah mengucapkan kata talak terhadap istri maka sudah dikatakan jatuh talak,
namun dalam Hukum Positif ( Undang-undang dan KHI) juga diatur tentang talak
dimana dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 115 menegaskan bahwa
“perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah
pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak”.
Dari perbedaan aturan hukum tersebut maka peneliti mengadakan penelitian
ini dengan tujuan untuk mengetahui kedudukan seorang wanita apabila di talak di
luar Pengadilan berdasarkan tinjauan Fikih maupun Hukum Positif, dengan
menggunakan metode penelitian pustaka (Library Research), dengan menggunakan
teknik pengutipan, dan data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan deskriptif kualitatif dan teknik analisis isi.
Berdasarkan hasil penelitian Pertama, Para ulama dan kyai telah memasukkan
Hukum Islam atau Fikih dalam undang-undang perkawinan untuk umat Islam di
Indonesia. Dengan adanya ketentuan Undang-undang yang mengatur bahwa talak
harus diucapkan di depan sidang Pengadilan Agama, maka wanita yang di talak oleh
suami di luar sidang Pengadilan adalah batal atau tidak sah, jadi wanita tersebut
masih berstatus sebagai istri yang sah, bukan mantan istri atau janda. Pendapat ini
didasarkan pada kaidah Fikih yang berbunyi “Hukumul hakim ilzamun wa yarfa’ul
khilaf”, artinya peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Negara bersifat
mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat. Kedua, Hukum Positif atau
Undang-undang perkawinan dan KHI tidak bertentangan dengan Fikih, jadi dengan
berlakunya ketentuan UUP seharusnya menghilangkan pertentangan di tengah-tengah
masyarakat tentang talak di luar pengadilan, karena hal demikian telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan bahwa Talak harus diucapkan di depan sidang
Pengadilan Agama. Sehingga apabila seorang wanita di Talak di luar Pengadilan
tidak di anggap sah dan tidak memiliki kekuatan Hukum. Artinya wanita tersebut
masih berstatus sebagai istri sah.
A. Kesimpulan
1. Perspektif fikih tentang perceraian di luar pengadilan menurut jumhur ulama
berpendapat bahwa perceraian tersebut jatuh pendapat ini mengambil
landasan dari Hadis nabi yang menyatakan "Tiga hal yang sungguh-
sungguhnya jadi sungguhan, dan main-mainnya pun jadi sungguhan pula.
Tiga hal itu adalah nikah, talak, dan rujuk". Tetapi ada juga yang berpendapat
tidak sah seperti Al-Baqir dan Jakfar Al-Shadiq, begitu pula Imam Ahmad
dan Malik karena kebolehan talak adalah sebagai alternatif terakhir, Islam
menunjukkan agar sebelum terjadinya talak atau perceraian, ditempuh usaha-
usaha perdamaian antara kedua belah pihak melalui hakam (arbitrator) dari
kedua belah pihak. Dalam prinsip Islam perceraian adalah dilarang ini di
dasarkan pada isyarat nabi sesuatu yang halal tetapi di benci oleh Allah adalah
cerai.
2. Hukum Positif atau Undang-undang Perkawinan dan KHI tidak bertentangan
dengan fikih, jadi dengan berlakunya ketentuan UUP seharusnya
menghilangkan pertentangan di tengah-tengah masyarakat tentang talak di
luar Pengadilan, karena hal demikian telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan bahwa talak harus diucapkan di depan sidang Pengadilan Agama.
Sehingga apabila seorang wanita di talak di luar Pengadilan tidak dianggap
sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Artinya wanita tersebut masih
berstatus sebagai istri sah.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian di atas, adapun yang menjadi saran dari
penulis sebagai berikut:
1. Diharapkan agar hasil dari penelitian ini dapat menjadi sumbangsi pemikiran
kepada masyarakat bahwa hukum positif tidak bertentangan dengan fikih.
Sebab dalam pembuatan Undang-Undang, para ulama dan kyai tergabung
dalam DPR untuk merumuskan Undang-undang Perkawinan, dan mereka
telah melakukan ijtihad sedemikian rupa sehingga Undang-undang
perkawinan tidak ada yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam.
2. Agar talak di luar Pengadilan dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan
dari keragaman masyarakat pada umumnya, penulis memberikan saran kepada
para ahli hukum agar melakukan konsultasi hukum serta bimbingan hukum
secara komprehansif kepada masyarakat dalam advokasi litigasi ataupun
birokrasi yang tepat.
Ketersediaan
| SSYA20200111 | 111/2020 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
111/2020
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2020
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
