Usia Menikah Dalam Perspektif Hukum (Studi Komparatif Hukum Islam Dan Hukum Positif)
Reni Febrianti/01.16.1148 - Personal Name
Skripsi ini membahas mengenai “Usia Menikah dalam Perspektif Hukum
(Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Positif)”. Masalah yang dibahas
dalam penelitian ini yaitu, bagaimana ketentuan usia menikah menurut hukum
Islam dan hukum positif, bagaimana analisis komparasi usia menikah perspektif
hukum Islam dan hukum positif. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui ketentuan usia menikah menurut hukum Islam dan hukum positif dan
untuk mengetahui analisis komparasi usia menikah perspektif hukum Islam dan
hukum positif.
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library
research) yaitu dengan membaca, menelaah, mengutip buku-buku, jurnal-jurnal
serta tulisan-tulisan lainnya yang berhubungan dengan konsep usia menikah dari
segi hukum Islam dan hukum positif, adapun pendekatan penelitian yang
digunakan adalah pendekatan yuridis normatif.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa usia pernikahan bagi calon mempelai
dalam pernikahan adalah masalah penting, karena perkawinan membutuhkan
kematangan yang bukan sekedar bersifat biologis, tetapi juga kematangan
psikologis dan sosial. Maka tidak heran jika setiap insan berhati-hati dalam
memilih pasangan hidupnya, masalah pernikahan akan berdampak pada semua
sendi kehidupan manusia. Dalam Hukum Islam tidak ada nash yang secara jelas
tentang batasan Usia pernikahan hanya saja seseorang yang akan menikah harus
mampu dan dewasa, sedangkan ukuran kedewasaan diartikan juga dengan baligh
yang ditandai dengan keluarnya air mani bagi laki-laki dan haid bagi perempuan.
Maka hal inilah yang menjadi kontroversi dikalangan masyarakat karena
masyarakat tidak menganggap begitu penting, sebab terkadang tanda-tanda baligh
telah ia dapatkan. Karena tanda tersebut datang pada setiap orang secara berbeda.
Kemudian dalam Hukum Positif, usia perkawinan yang diperbolehkan menurut
undang-undang No. 16 tahun 2019 yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
Namun jika dilihat realita yang terjadi, undang-undang tersebut tidak begitu
mempengaruhi sebagian masyarakat meskipun aturan tersebut sudah pasti, sebab
jika seseorang yang belum mencapai umur 19 tahun ingin menikah, maka
pernikahan dapat dilangsungkan dengan meminta dispensasi dari pengadilan.
A. Simpulan
Setelah penulis melakukan penelitian yang berupa penelitian pustaka
(Library reserch) dengan judul “Usia Menikah Dalam Perspektif Hukum
(Studi Komparatif Hukum Islam Dan Hukum Positif)” maka penulis
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep usia menikah menurut Hukum Islam bervariasi. Sebagian
ulama menyatakan bahwa usia minimal seseorang untuk melangsungkan perkawinan adalah balig dengan ciri, bermimpi (keluar mani) bagi laki-laki dan haid (menstruasi) bagi perempuan.
Sebagian ulama yang lain menepakan bahwa usia minimal untuk
menikah tidak hanya dilihat dari ciri fisik saja, tetapi juga pada
kesempurnaan akal dan jiwa. Jadi, pada dasarnya para ulama tidak
memberikan batasan secara spesifik mengenai usia menikah. Karena
meskipun usia catin belum balig tidak menghalangi sahnya pernikahan
sebab persoalan usia minimal pernikahan tidak termasuk dalam rukun
dan syarat sah pernikahan. Sedangkan dalam Hukum Positif, usia
untuk melangsungkan pernikahan pun bervariasi.
Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menyatakan bahwa 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Dan
menurut Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 98 ayat
(1)menyebutkan bahwa “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri
atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat
fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Dan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 29
menyatakan bahwa “Laki-laki yang belum mencapai umur delapan
belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima
belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan.
Namun jika ada alasan-alasan penting, Presiden dapat menghapuskan
larangan ini dengan memberikan dispensasi.
2. Permasalahan-permasalahan yang terjadi terkait pernikahan di bawah
umur memperlihatkan bahwa dari segi subtansi hukum tidak memadai
bagi anak-anak khususnya perempuan, untuk mencapai tujuan
perkawinan, yaitu memperoleh “keluarga yang bahagia, dan kekal.”
Karena ketika di implementasikan, ketentuan hukum yang sangat
longgar rentan sekali menimbulkan penafsiran-penafsiran yang keluar
dari subtansi hukum tersebut. Oleh karena itu, untuk menentukan
solusi hukum di masa yang akan datang, di samping permasalahan-
permasalahan yang diungkapkan di atas, perlu dikaji beberapa aspek
sebagai bahan pertimbangan, antara lain; (1) aspek yuridis, (2) aspek
sosiologis, dan (3) aspek filosofis.
B.Implikasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang akan peneliti
kemukakan adalah sebagai berikut:
1. Kepada semua pihak diharapkan memberi perhatian lebih serius sejak
dini, khususnya kepada para orang tua diharapkan tidak menikahkan
anaknya terlalu muda kecuali dalam keadaan yang mendesak supaya
anak bisa memperoleh pendidikan yang layakdan pemikirannya sudah
matang jika menikah nantinya.
2. Kepada calon pengantin agar kiranya berfikir secara matang sebelum
membuat keputusan untuk menikah dan harus siap secara psikologis,
biologis, dan sosial.
(Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Positif)”. Masalah yang dibahas
dalam penelitian ini yaitu, bagaimana ketentuan usia menikah menurut hukum
Islam dan hukum positif, bagaimana analisis komparasi usia menikah perspektif
hukum Islam dan hukum positif. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui ketentuan usia menikah menurut hukum Islam dan hukum positif dan
untuk mengetahui analisis komparasi usia menikah perspektif hukum Islam dan
hukum positif.
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library
research) yaitu dengan membaca, menelaah, mengutip buku-buku, jurnal-jurnal
serta tulisan-tulisan lainnya yang berhubungan dengan konsep usia menikah dari
segi hukum Islam dan hukum positif, adapun pendekatan penelitian yang
digunakan adalah pendekatan yuridis normatif.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa usia pernikahan bagi calon mempelai
dalam pernikahan adalah masalah penting, karena perkawinan membutuhkan
kematangan yang bukan sekedar bersifat biologis, tetapi juga kematangan
psikologis dan sosial. Maka tidak heran jika setiap insan berhati-hati dalam
memilih pasangan hidupnya, masalah pernikahan akan berdampak pada semua
sendi kehidupan manusia. Dalam Hukum Islam tidak ada nash yang secara jelas
tentang batasan Usia pernikahan hanya saja seseorang yang akan menikah harus
mampu dan dewasa, sedangkan ukuran kedewasaan diartikan juga dengan baligh
yang ditandai dengan keluarnya air mani bagi laki-laki dan haid bagi perempuan.
Maka hal inilah yang menjadi kontroversi dikalangan masyarakat karena
masyarakat tidak menganggap begitu penting, sebab terkadang tanda-tanda baligh
telah ia dapatkan. Karena tanda tersebut datang pada setiap orang secara berbeda.
Kemudian dalam Hukum Positif, usia perkawinan yang diperbolehkan menurut
undang-undang No. 16 tahun 2019 yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
Namun jika dilihat realita yang terjadi, undang-undang tersebut tidak begitu
mempengaruhi sebagian masyarakat meskipun aturan tersebut sudah pasti, sebab
jika seseorang yang belum mencapai umur 19 tahun ingin menikah, maka
pernikahan dapat dilangsungkan dengan meminta dispensasi dari pengadilan.
A. Simpulan
Setelah penulis melakukan penelitian yang berupa penelitian pustaka
(Library reserch) dengan judul “Usia Menikah Dalam Perspektif Hukum
(Studi Komparatif Hukum Islam Dan Hukum Positif)” maka penulis
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep usia menikah menurut Hukum Islam bervariasi. Sebagian
ulama menyatakan bahwa usia minimal seseorang untuk melangsungkan perkawinan adalah balig dengan ciri, bermimpi (keluar mani) bagi laki-laki dan haid (menstruasi) bagi perempuan.
Sebagian ulama yang lain menepakan bahwa usia minimal untuk
menikah tidak hanya dilihat dari ciri fisik saja, tetapi juga pada
kesempurnaan akal dan jiwa. Jadi, pada dasarnya para ulama tidak
memberikan batasan secara spesifik mengenai usia menikah. Karena
meskipun usia catin belum balig tidak menghalangi sahnya pernikahan
sebab persoalan usia minimal pernikahan tidak termasuk dalam rukun
dan syarat sah pernikahan. Sedangkan dalam Hukum Positif, usia
untuk melangsungkan pernikahan pun bervariasi.
Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menyatakan bahwa 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Dan
menurut Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 98 ayat
(1)menyebutkan bahwa “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri
atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat
fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Dan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 29
menyatakan bahwa “Laki-laki yang belum mencapai umur delapan
belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima
belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan.
Namun jika ada alasan-alasan penting, Presiden dapat menghapuskan
larangan ini dengan memberikan dispensasi.
2. Permasalahan-permasalahan yang terjadi terkait pernikahan di bawah
umur memperlihatkan bahwa dari segi subtansi hukum tidak memadai
bagi anak-anak khususnya perempuan, untuk mencapai tujuan
perkawinan, yaitu memperoleh “keluarga yang bahagia, dan kekal.”
Karena ketika di implementasikan, ketentuan hukum yang sangat
longgar rentan sekali menimbulkan penafsiran-penafsiran yang keluar
dari subtansi hukum tersebut. Oleh karena itu, untuk menentukan
solusi hukum di masa yang akan datang, di samping permasalahan-
permasalahan yang diungkapkan di atas, perlu dikaji beberapa aspek
sebagai bahan pertimbangan, antara lain; (1) aspek yuridis, (2) aspek
sosiologis, dan (3) aspek filosofis.
B.Implikasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang akan peneliti
kemukakan adalah sebagai berikut:
1. Kepada semua pihak diharapkan memberi perhatian lebih serius sejak
dini, khususnya kepada para orang tua diharapkan tidak menikahkan
anaknya terlalu muda kecuali dalam keadaan yang mendesak supaya
anak bisa memperoleh pendidikan yang layakdan pemikirannya sudah
matang jika menikah nantinya.
2. Kepada calon pengantin agar kiranya berfikir secara matang sebelum
membuat keputusan untuk menikah dan harus siap secara psikologis,
biologis, dan sosial.
Ketersediaan
| SSYA20200080 | 82/2020 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
80/2020
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2020
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
