Telaah Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85 /Puu-Ix / Terkait Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh Pihak Swasta

No image available for this title
Penelitian ini menelaah permasalahan, Bagaimana konsep Penguasaan
Negara dan Hak Asasi Manusia atas Sumber Daya Air pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi No.85/PUU-XI/2013.
Penelitian hukum ini adalah penelitian hukum Normatif berbentuk
preskriptif, dengan menggunakan Pendekatan Perundang-Undangan
(statute
approach), Pendekatan Konseptual (conceptual approach) dan Pendekatan Kasus
(case approach). Jenis data sekunder meliputi bahan hukum Primer dan bahan hukum
Sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam Penelitian Hukum ini
menggunakaan teknik pengumpulan data Studi Kepustakaan, dengan menggunakan
Teknik analisis Bahan Hukum Deduktif.
Penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat menjadi acuan akademis
dan digunakan sebagai sumber literatur ilmiah dalam menunjang perkembangan ilmu
Hukum mengenai berbagai permasalahan pengelolaan sumber daya air yang terus
berkembang, khususnya bagi prodi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah & Hukum
Islam. Dalam penelitian ini, selain dapat memberikan solusi yang tepat dalam
permasalahan pengelolaan sumber daya air, penulisan skripsi ini juga diharapkan
mampu memberikan manfaat bagi pemerintah dan penegak hukum serta menjadi
solusi atas segala permasalahan hukum yang terjadi dalam ruang lingkup Negara
Indonesia. Serta penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan dan tolak ukur
dalam perumusan suatu kebijakan hukum dalam setiap permasalahan.
Berdasarkan hasil analisis, penulis menyimpukan bahwa secara substansi
Mahkamah berwenang menguji konstitusionalitas Undang-Undang No. 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang pelaksanaannya
dianggap bertentangan dengan prasyarat konstitusionalitas yang telah ditentukan
dalam Putusan No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005,
sehingga dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, diputuskan
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013.
Mahkamah dalam putusannya menegaskan pelaksanaan Pengelolaan Sumber
Daya Air harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan
negara atas air. Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan ada bilamana
negara, yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 diberi mandat secara kolektif untuk
membuat kebijakan (beleid), melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan
tindakan
pengawasan
(toezichthoudensdaad)
untuk
tujuan
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Mahkamah juga menegaskan bahwa akses terhadap air sebagai bagian dari
hak asasi maka negara wajib menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan
memenuhinya (to fulfil). Mahkamah juga menekankan bahwa ketiga aspek hak asasi
ix
atas air tersebut, yaitu penghormatan, perlindungan, dan pemenuhannya, tidak hanya
menyangkut kebutuhan sekarang tetapi juga harus dijamin kesinambungannya untuk
masa depan karena menyangkut eksistensi manusia.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, dilakukan
pembatasan pengusahaan dan pengelolaan air yang sangat ketat sebagai upaya untuk
menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan bangsa, oleh
karena itu, setiap perundang-undangan terkait pengelolaan sumber daya air dan
semua pelaksanaan pengelolaan atau pengusahaan sumber daya air tidak boleh
bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Dasar Pembatasan Pengelolaan Sumber Daya
Air. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: 1) Tidak mengganggu, mengesampingkan,
dan meniadakan hak rakyat atas Air; 2) Perlindungan negara terhadap hak rakyat atas
Air; 3) Kelestarian lingkungan hidup sebagai salah satu hak asasi manusia; 4)
Pengawasan dan pengendalian oleh negara atas Air bersifat mutlak; 5) Prioritas utama
pengusahaan atas Air diberikan kepada BUMN atau BUMD; dan; 6) Apabila setelah
semua pembatasan tersebut di atas telah terpenuhi dan ternyata masih ada
ketersediaan air, maka Pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin
kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat
tertentu dan ketat;
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari permasalahan yang
telah diuraikan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 mengandung komersialisasi dan
swastanisasi air sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
serta tidak sesuai dengan persyaratan konstitusionalitas yang telah ditentukan
Mahkamah dalam Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusannya
memutuskan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 bertentangan secara
keseluruhan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat secara keseluruhan. untuk mencegah terjadinya kekosongan
pengaturan mengenai sumber daya air maka Mahkamah memberlakukan
kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sembari
menunggu pembentukan Undang-Undang baru yang memperhatikan putusan
Mahkamah oleh pembentuk Undang-Undang.
Mahkamah dalam putusannya menegaskan pelaksanaan Pengelolaan Sumber
Daya Air harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak
penguasaan negara atas air. Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan
ada bilamana negara, yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 diberi mandat
secara kolektif untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali
dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan
(regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mahkamah juga menegaskan bahwa akses terhadap air sebagai bagian dari hak
asasi maka negara wajib menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan
memenuhinya (to fullfil). Pada saat yang sama Mahkamah juga menekankan
bahwa ketiga aspek hak asasi atas air tersebut, yaitu penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhannya, tidak hanya menyangkut kebutuhan sekarang
tetapi juga harus dijamin kesinambungannya untuk masa depan karena
menyangkut eksistensi manusia.
Pasca dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali untuk
menghindari terjadinya kekosongan hukum, dimana prinsip pengelolaan air
dilakukan oleh pemerintah maupun swasta dengan model koperasi. Amanat
pengelolaan dan pengusahaan sumber daya air Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1974 dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan dapat dilimpahkan ke
Pemerintah Daerah. Jika ada pihak swasta yang mau ikut dalam mengusahakan
air, maka perlu dilakukan dengan usaha bersama dengan prinsip kekeluargaan
(koperasi). Oleh karena itu, Sejalan dengan semangat pengembalian peran
pemerintah sesuai Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974 tersebut, pemerintah
daerah maupun masyarakat sekitar sumber mata air, maka pengelolaan air harus
dilakukan oleh pemerintah atau koperasi. Pengelolaan yang dilakukan oleh
pemerintah atau pemerintah daerah dalam pengusahaan air dapat dilakukan oleh
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, dilakukan
pembatasan pengusahaan dan pengelolaan air yang sangat ketat sebagai upaya
untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan
bangsa, oleh karena itu, setiap perundang-undangan terkait pengelolaan sumber
daya air dan semua pelaksanaan pengelolaan atau pengusahaan sumber daya air
tidak boleh bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Dasar Pembatasan Pengelolaan
Sumber Daya Air. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: 1) Tidak mengganggu,
mengesampingkan, dan meniadakan hak rakyat atas Air; 2) Perlindungan
negara terhadap hak rakyat atas Air; 3) Kelestarian lingkungan hidup sebagai
salah satu hak asasi manusia; 4) Pengawasan dan pengendalian oleh negara atas
Air bersifat mutlak; 5) Prioritas utama pengusahaan atas Air diberikan kepada
BUMN atau BUMD; dan; 6) Apabila setelah semua pembatasan tersebut di atas
telah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, maka Pemerintah masih
dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan
pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.
Pada tanggal 17 September 2019, Dalam Sidang Paripurna DPR RI, Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui dan mengesahkan Rancangan
Undang-Undang (RUU) Sumber Daya Air menjadi Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, ditegaskan bahwa Setiap
Orang yang dengan sengaja melakukan penggunaan Sumber Daya Air untuk
kebutuhan usaha tanpa izin dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) dipidana dengan
penjara paling singkat setahun dan paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit
Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 5 miliar, ini juga termasuk bagi mereka yang
melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan
nonkonstruksi pada Sumber Air tanpa memperoleh izin dari Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah. Sedangkan menurut Pasal 94 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 adalah dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun dan
denda paling banyak Rp 500 juta. Dengan demikian, sanksi hukum yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 lebih ringan daripada yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan di atas, maka hal-hal yang
perlu disarankan adalah sebagai berikut:
Dalam merancang dan mementukan kebijakan serta penyusunan setiap
perundang-undangan (termasuk yang terkait pengelolaan sumber daya air)
seharusnya merujuk dan berpedoman pada Undang-Undang Dasar 1945 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan tafsir resmi Konstitusi.
Pemanfaatan air harus mengingat kelestarian fungsi lingkungan hidup
sebagai salah satu upaya investasi untuk mencukupi kebutuhan generasi yang akan
datang.
Pemerintah baik pusat maupun daerah harus lebih mendorong sektor
pengusahaan air yang dilakukan oleh BUMN maupun BUMD, sehingga hak-hak
konstitusional rakyat akan ketersediaan air dapat terpenuhi dengan baik, selain itu
amanat pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dimana hak negara untuk
menguasai sumber daya air tercapai dengan melakukan pengelolaan atau
pengusahaan oleh pemerintah sendiri baik pusat maupun daerah, sehingga campur
tangan pihak swasta dapat diminimalisir.
Pemerintah diharapkan mengembangkan sistem pengelolaan atau
pengusahaan sumber daya air berbasis desa dengan mendorong masyarakat desa
untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang dipergunakan untuk mengelola
sumber daya air untuk nantinya dapat memberikan kesejahteraan yang sebesar-
besarnya bagi masyarakat akan ketersediaan air.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang
Sumber Daya Air yang menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974
tentang Pengairan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, maka diharapkan
terciptanya keadilan bahwa pengelolaan Sumber Daya Air dilakukan secara merata
ke seluruh lapisan masyarakat di wilayah tanah Air sehingga setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk berperan dalam pengelolaan
sumber daya air dan menggunakan Sumber Daya Air, serta diharapkan dapat lebih
spesifik mengatur mengenai pendayagunaan, konservasi, perencanaan, bahkan
pengelolaan air oleh lembaga atau badan-badan usaha pemerintah, antara lain
Pemerintahan Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, hingga Pemerintahan Desa
yang memiliki kewenanganya terhadap sumber daya air. Kekayaan alam berupa
air sepenuhnya dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, sehingga tidak hanya
untuk kepentingan sekelompok orang dan mengabaikan hak asasi manusia,
kesempatan komersialisasi air oleh perusahaan swasta harus diatur dan diawasi
secara ketat.
Hak atas air, sebagaimana hak-hak asasi manusia lainnya, memberikan
kewajiban kepada negara untuk memenuhinya. Untuk itu, problemnya bukan
kepada kesertamertaan bagi setiap warga negara untuk dapat memperoleh air tetapi
lebih kepada adanya mekanisme yang tegas, dan jelas bagaimana negara akan
melakukan upaya-upaya bagi ketersediaan air dan terutama langkah-langkah untuk
menjamin akses tersebut. Dengan demikian, kewajiban negara dalam hal hak atas
air, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to
fullfill), dapat tercapai.
Ketersediaan
SSYA2021004545/2021Perpustakaan PusatTersedia
Informasi Detil
Judul Seri

-

No. Panggil

45/2021

Penerbit

IAIN BONE : Watampone.,

Deskripsi Fisik

-

Bahasa

Indonesia

ISBN/ISSN

-

Klasifikasi

Skripsi Syariah

Informasi Detil
Tipe Isi

-

Tipe Media

-

Tipe Pembawa

-

Edisi

-

Info Detil Spesifik

-

Pernyataan Tanggungjawab
Tidak tersedia versi lain

Advanced Search

Gak perlu repot seting ini itu GRATIS SetUp ,Mengonlinekan SLiMS Di Internet Karena pesan web di Desawarna.com Siap : 085740069967

Pilih Bahasa

Gratis Mengonlinekan SLiMS

Gak perlu repot seting ini itu buat mengonlinekan SLiMS.
GRATIS SetUp ,Mengonlinekan SLiMS Di Internet
Karena pesan web di Desawarna.com
Kontak WhatsApp :

Siap : 085740069967

Template Perpustakaan Desawarna

Kami berharap Template SLiMS ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai template SLiMS bagi semua SLiMerS, serta mampu memberikan dukungan dalam pencapaian tujuan pengembangan perpustakaan dan kearsipan.. Aamiin

Top