Wakaf Berjangka dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Rian Herianto/01.15.1088 - Personal Name
Skripsi ini membahas tentang “Wakaf Berjangka dalam Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf” Hal yang penting dikaji dalam skripsi ini
yakni pertama, bagaimana wakaf berjangka menurut perspektif hukum Fiqih, yang
kedua, bagaimana wakaf berjangka menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian literatur atau kepustakaan (library research), karena sumber data yang
diambil oleh penyusun ini merupakan data yang terdapat pada bahan pustaka Islam,
yaitu al-Qur’an, Hadis, kitab fiqih, dan buku-buku lain yang berkaitan dengan wakaf.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui wakaf berjangka menurut
perspektif hukum Fiqih, yang kedua, untuk mengetahui wakaf berjangka menurut
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Berdasarkan hasil penelitian pertama, wakaf berjangka menurut perspektif
hukum Fiqih, penerapan wakaf berjangka berdasarkan pasal 6 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 terdapat perbedaan pendapat antara Imam Maliki, Imam
Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali. Imam Maliki dan Imam Hanafi
memperbolehkan praktik wakaf berjangka alasannya karena Perwakafan itu berlaku
untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf
kekal
(selamanya).
Sedangkan
Imam
Syafi’i
dan
Imam
Hambali
tidak
memperbolehkan praktik wakaf berjangka alasannya, wakaf itu benar-benar terjadi
kecuali bila orang yang mewakafkan bermaksud mewakafkan barangnya untuk
selama-lamanya dan terus menerus. Jadi, kalau orang yang mewakafkan itu
membatasi waktunya untuk jangka waktu tertentu, maka apa yang dilakukannya itu
tidak bisa disebut sebagai wakaf dalam pengertiannya yang benar. Kedua, Wakaf
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ada dua macam yaitu, wakaf abadi
dan wakaf berjangka waktu. Adapun yang di maksud wakaf Abadi yaitu wakaf
selamanya atau sifatnya kekal dan wakaf berjangka waktu dalam pasal 6 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 yaitu wakaf yang diperbolehkan untuk benda
bergerak yang sifatnya sementara, dan batasan waktunya sesuai dengan akad yang
disepakati awal.
A. Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan tersebut diatas, kiranya dapat
dikemukakanbeberapakesimpulan sebagai berikut:
1. Wakaf berjangka menurut perspektif hukum Fiqih, penerapan wakaf
berjangka berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
terdapat perbedaan pendapat antara Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam
Syafi’i, dan Imam Hambali. Imam Malikidan Imam Hanafi memperbolehkan
praktik wakaf berjangka alasannya karena perwakafan itu berlaku untuk suatu
masa tertentu, dan karenanya tidak boleh diisyaratkan sebagai wakafkekal
(selamanya).
Sedangkan
Imam
Syafi’i
dan
Imam
Hambali
tidak
memperbolehkan praktik wakaf berjangka alasannya, wakaf itu benar-benar
terjadi kecuali bila orang yang mewakafkan bermaksud mewakafkan
barangnya untuk selama-lamanya dan terus menerus. Jadi, kalau orang yang
mewakafkan itu membatasi waktunya untuk jangka waktu tertentu, maka apa
yang dilakukannya itu tidak bisa disebut sebagai wakaf
2. Wakaf
berjangka
dalam
Undang-Undang
Nomor
41
tahun
2004
adaduamacamyaitu, wakafabadi danwakaf berjangkawaktu. Adapun yang di
maksud wakaf Abadi yaitu wakafselamanya atau sifatnya kekal. Sedangkan
Wakaf berjangka itu adalah wakaf yang diberikan oleh wakif kepada nadzhir
untuk
dikelola
dan
diambilmanfaatnya
dengan
perjanjian
untuk
mengembalikan asset pokok wakaf kepada wakif ketika jangka waktunya
telah habis. Mislanya wakaf tanah maupun wakaf benda-benda bergerak,
benda bergerak selain uang, dan benda bergerak berupa uang bisa berjangka
dan bisa juga selama-lamanya. Wakaf yang tidak boleh berjangka adalah
wakaf tanah sedangkan wakaf yang boleh berjangka dan boleh selama-
lamanya adalah wakaf benda bergerak selain uang dan wakaf benda bergerak
berupa uang. Wakaf benda bergerak berupa uang boleh berjangka jika wakaf
uangnya senilai 10 juta atau lebih dengan jangka waktu minimal 5 tahun, dan
selamanya jika wakaf uangnya kurang dari 10 juta.
B. Implikasi
Berdasarkan uraian dan pembahasan tersebut diatas,kiranya dapat
dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
a. Bahwa dalam peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Berjangka khususnya di Indonesia secaraproduktif,masih perlu pengkajian
ulang khususnya dalam peyaluran wakaf karena masih banyak terjadi
sekarang perselisihan anatar sesama keluarga dikarenakan kurangnya
sosialisasi terhadap penyaluran untuk menghindaridampak-dampak
negatiftersebut pemerintah harusnya memberikan ruang kepada masyarakat
untuk memahami tentang wakaf khususnya wakaf berjangka.
b. Pengaturan wakaf pada pasal 6 Undang-Undang Nomor41 Tahun 2004 agar
terealisasi dengan baik hendaknya di perhatikan pengelolaan dan
pemanfaatannya dengan baik agar tidak terjadi efek yang dapat menimbulkan
kekacauan di masyarakat.
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf” Hal yang penting dikaji dalam skripsi ini
yakni pertama, bagaimana wakaf berjangka menurut perspektif hukum Fiqih, yang
kedua, bagaimana wakaf berjangka menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian literatur atau kepustakaan (library research), karena sumber data yang
diambil oleh penyusun ini merupakan data yang terdapat pada bahan pustaka Islam,
yaitu al-Qur’an, Hadis, kitab fiqih, dan buku-buku lain yang berkaitan dengan wakaf.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui wakaf berjangka menurut
perspektif hukum Fiqih, yang kedua, untuk mengetahui wakaf berjangka menurut
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Berdasarkan hasil penelitian pertama, wakaf berjangka menurut perspektif
hukum Fiqih, penerapan wakaf berjangka berdasarkan pasal 6 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 terdapat perbedaan pendapat antara Imam Maliki, Imam
Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali. Imam Maliki dan Imam Hanafi
memperbolehkan praktik wakaf berjangka alasannya karena Perwakafan itu berlaku
untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf
kekal
(selamanya).
Sedangkan
Imam
Syafi’i
dan
Imam
Hambali
tidak
memperbolehkan praktik wakaf berjangka alasannya, wakaf itu benar-benar terjadi
kecuali bila orang yang mewakafkan bermaksud mewakafkan barangnya untuk
selama-lamanya dan terus menerus. Jadi, kalau orang yang mewakafkan itu
membatasi waktunya untuk jangka waktu tertentu, maka apa yang dilakukannya itu
tidak bisa disebut sebagai wakaf dalam pengertiannya yang benar. Kedua, Wakaf
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ada dua macam yaitu, wakaf abadi
dan wakaf berjangka waktu. Adapun yang di maksud wakaf Abadi yaitu wakaf
selamanya atau sifatnya kekal dan wakaf berjangka waktu dalam pasal 6 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 yaitu wakaf yang diperbolehkan untuk benda
bergerak yang sifatnya sementara, dan batasan waktunya sesuai dengan akad yang
disepakati awal.
A. Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan tersebut diatas, kiranya dapat
dikemukakanbeberapakesimpulan sebagai berikut:
1. Wakaf berjangka menurut perspektif hukum Fiqih, penerapan wakaf
berjangka berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
terdapat perbedaan pendapat antara Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam
Syafi’i, dan Imam Hambali. Imam Malikidan Imam Hanafi memperbolehkan
praktik wakaf berjangka alasannya karena perwakafan itu berlaku untuk suatu
masa tertentu, dan karenanya tidak boleh diisyaratkan sebagai wakafkekal
(selamanya).
Sedangkan
Imam
Syafi’i
dan
Imam
Hambali
tidak
memperbolehkan praktik wakaf berjangka alasannya, wakaf itu benar-benar
terjadi kecuali bila orang yang mewakafkan bermaksud mewakafkan
barangnya untuk selama-lamanya dan terus menerus. Jadi, kalau orang yang
mewakafkan itu membatasi waktunya untuk jangka waktu tertentu, maka apa
yang dilakukannya itu tidak bisa disebut sebagai wakaf
2. Wakaf
berjangka
dalam
Undang-Undang
Nomor
41
tahun
2004
adaduamacamyaitu, wakafabadi danwakaf berjangkawaktu. Adapun yang di
maksud wakaf Abadi yaitu wakafselamanya atau sifatnya kekal. Sedangkan
Wakaf berjangka itu adalah wakaf yang diberikan oleh wakif kepada nadzhir
untuk
dikelola
dan
diambilmanfaatnya
dengan
perjanjian
untuk
mengembalikan asset pokok wakaf kepada wakif ketika jangka waktunya
telah habis. Mislanya wakaf tanah maupun wakaf benda-benda bergerak,
benda bergerak selain uang, dan benda bergerak berupa uang bisa berjangka
dan bisa juga selama-lamanya. Wakaf yang tidak boleh berjangka adalah
wakaf tanah sedangkan wakaf yang boleh berjangka dan boleh selama-
lamanya adalah wakaf benda bergerak selain uang dan wakaf benda bergerak
berupa uang. Wakaf benda bergerak berupa uang boleh berjangka jika wakaf
uangnya senilai 10 juta atau lebih dengan jangka waktu minimal 5 tahun, dan
selamanya jika wakaf uangnya kurang dari 10 juta.
B. Implikasi
Berdasarkan uraian dan pembahasan tersebut diatas,kiranya dapat
dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
a. Bahwa dalam peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Berjangka khususnya di Indonesia secaraproduktif,masih perlu pengkajian
ulang khususnya dalam peyaluran wakaf karena masih banyak terjadi
sekarang perselisihan anatar sesama keluarga dikarenakan kurangnya
sosialisasi terhadap penyaluran untuk menghindaridampak-dampak
negatiftersebut pemerintah harusnya memberikan ruang kepada masyarakat
untuk memahami tentang wakaf khususnya wakaf berjangka.
b. Pengaturan wakaf pada pasal 6 Undang-Undang Nomor41 Tahun 2004 agar
terealisasi dengan baik hendaknya di perhatikan pengelolaan dan
pemanfaatannya dengan baik agar tidak terjadi efek yang dapat menimbulkan
kekacauan di masyarakat.
Ketersediaan
| SSYA20200190 | 190/2020 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
190/2020
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2020
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
