Status Hukum Wanita yang dijatuhi Talak Tiga Sekaligus Perspektif Mazhab Syafi’i dan UU. No.1 Tahun 1974
A. Yunin Dalauleng/01.16.1054 - Personal Name
Skripsi ini membahas mengenai “Status Hukum Wanita yang dijatuhi Talak
Tiga Sekaligus Perspektif Mazhab Syafi’i dan UU. No.1 Tahun 1974”. Pokok
permasalahan adalah bagaimana proses penjatuhan talak menurut Mazhab Syafi’I dan
UU. No.1 Tahun 1974 dan status hukum wanita yang dijatuhi talak tiga sekaligus
menurut Mazhab Syafi’i dan dikomparasikan dengan aturan yang berlaku di
Pengadilan Agama yakni UU. No.1 Tahun 1974. Jenis yang dipilih dalam penelitian
ini adalah penelitian kepustakaan (Library research). Tipe penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif dengan pendekatan teologis normatif, pendekatan
perundang-undangan (Statute approach), pendekatan konsep (Conceptual approach),
pendekatan perbandingan (Comparative approach). Masalah ini dianalisis dengan
penalaran deduktif dan analisis korelatif, selanjutnya dibahas dengan metode
penelitian kepustakaan dan dengan teknik dokumentasi dan pengutipan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam perspektif Mazhab Syafi’i dan
UU. No.1 Tahun 1974 yang diterapkan di Pengadilan Agama, mempunyai prinsip
yang berbeda mengenai talak tiga sekaligus dan proses penjatuhan talak. Perbedaan
mengenai talak tiga sekaligus akan berdampak pada status hukum wanita yang
dijatuhi talak tiga sekaligus. Dalam literatur Mazhab Syafi’i disebutkan, bahwa talak
tiga sekaligus dianggap sah dan proses penjatuhan talak terhitung sejak redaksi talak
diucapkan meskipun di luar sidang pengadilan, ini merupakan titik kelemahan fikih
yang cenderung lebih memprioritaskan segala sesuatu dari sudut pandang legal,
dalam hal ini bisa dikatakan bahwa fikih hanya memandang segala sesuatu dari luar
yang bersifat objektif. Sedangkan dalam UU. No.1 Tahun 1974 disebutkan,
walaupun sudah talak yang ke tiga disaat melakukan talak di pengadilan, pengadilan
hanya mencatatnya sebagai talak satu. Status hukum wanita yang dijatuhi talak tiga
sekaligus menurut Mazhab Syafi’I adalah tidak boleh rujuk kepada suaminya dan
termasuk talak Ba’in Kubra yang boleh kembali dengan suaminya apabila si wanita
yang dijatuhi talak tiga sekaligus itu menikah dengan pria lain dan sudah merasakan
madu diantara keduanya lalu bercerai. Sedangkan ketika suami mentalak istrinya
dengan talak tiga sekaligus menurut UU. No.1 Tahun 1974 tetap menjatuhkan dengan
talak satu dan status hukum wanitanya bisa rujuk atau kembali dengan suaminya
selama masa ‘iddah tetap berlangsung, akan tetapi jika masa ‘iddahnya telah habis
bisa kembali dengan suaminya melalui pernikahan dan mahar yang baru. Istrinya juga
masih berhak mendapatkan mut’ah dari mantan suami. Meskipun telah diketahui
bahwa hukum positif mengadopsi dari pendapat para fuqaha, namun di sisi lain UU.
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan lebih cenderung memilih pendapat yang
sekiranya lebih disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan diadaptasikan dengan
masyarakat Indonesia.
A. Kesimpulan
1. Penjatuhan talak menurut kebanyakan pengikut Ahlusunnah, tidak disyaratkan
dengan satu syaratpun yang dapat menghalangi segera jatuhnya talak, seperti
perempuan tidak sedang dalam masa haid, tidak suci setelah bercampur, atau
keharusan hadirnya dua orang saksi yang adil. Proses penjatuhan talak menurut
Mazhab Syafi’I bahwa jika suami mengatakan kepada istrinya,”engkau adalah
orang yang tertalak” serta diniatkan talak maka jatuhlah talak. Jika diniatkan
talak satu, maka jatuh talak satu. Jika diniatkan talak dua atau tiga maka jatuh
talak dua atau tiga.
Proses penjatuhan talak menurut UU. No. 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan
dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.
Adapun alasan-alasan perceraian yaitu: Salah satu pihak berbuat zina atau
menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya, salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5
tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain, salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri, antar suami istri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
UU. No. 1 Tahun 1974 tidak menyinggung adanya talak tiga sekaligus.
Sebagaimana tata cara perceraian yang disebutkan dalam peraturan perundang-
undangan, maka talak tiga sekaligus tidak akan terjadi, sebab talak di proses di
pengadilan dan sesuai dengan aturan pengadilan. Hal ini disebabkan undang-
undang memiliki beberapa prinsip, diantaranya yaitu untuk menjamin cita-cita
yang luhur dari perkawinan dan prinsip mempersulit perceraian demi untuk
terwujudnya kemaslahatan.
2. Status hukum wanita yang dijatuhi talak tiga sekaligus menurut Mazhab Syafi’I
adalah tidak boleh rujuk kepada suaminya dan termasuk talak Ba’in Kubra
yang boleh kembali dengan suaminya apabila si wanita yang dijatuhi talak tiga
sekaligus itu menikah dengan pria lain dan sudah merasakan madu diantara
keduanya lalu bercerai.
Berbeda dengan UU. No.1 Tahun 1974 yang dapat dilihat pada Pasal 39
UU. No. 1 Tahun 1974 yaitu proses pengucapan ikrar talak yang harus di depan
persidangan dan disaksikan oleh para hakim Pengadilan Agama. Apabila
pengucapan ikrar talak itu dilakukan di luar persidangan maka talak tersebut
merupakan talak di lingkungan yang dianggap tidak sah dan tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat. Jadi ketika suami mentalak istrinya dengan
talak tiga sekaligus maka menurut UU. No.1 tahun 1974 tetap menjatuhkan
dengan talak satu dan status hukum wanitanya bisa rujuk atau kembali dengan
suaminya selama masa ‘iddah tetap berlangsung, akan tetapi jika masa
‘iddahnya telah habis bisa kembali dengan suaminya melalui pernikahan dan
mahar yang baru. Istrinya juga masih berhak mendapatkan mut’ah dari mantan
suami.
B. Saran
UU. No.1 Tahun 1974 lebih cocok dijadikan sebagai dasar hukum perceraian
karena diambil dari pendapat-pendapat yang lebih tahu kondisi masyarakat
Indonesia saat ini. Akan tetapi sebaiknya tidak melupakan sama sekali kepada
pendapat Mazhab Syafi’I yang terdahulu, karena dengan fikih merekalah yang
dapat mengenal dasar-dasar hukum Syar’I khususnya dalam masalah perceraian.
Selain itu, Mazhab Syafi’I menjadi hukum yang dikenal masyarakat yeng
pendapat amaliyahnya diikuti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, maka
sebaiknya pendapat Mazhab Syafi’I juga dapat memberikan konstribusi mengenai
kebolehan ikrar talak tiga sekaligus di Pengadilan Agama, kalau memang dalam
keadaan genting atau darurat untuk dilakukan.
Tiga Sekaligus Perspektif Mazhab Syafi’i dan UU. No.1 Tahun 1974”. Pokok
permasalahan adalah bagaimana proses penjatuhan talak menurut Mazhab Syafi’I dan
UU. No.1 Tahun 1974 dan status hukum wanita yang dijatuhi talak tiga sekaligus
menurut Mazhab Syafi’i dan dikomparasikan dengan aturan yang berlaku di
Pengadilan Agama yakni UU. No.1 Tahun 1974. Jenis yang dipilih dalam penelitian
ini adalah penelitian kepustakaan (Library research). Tipe penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif dengan pendekatan teologis normatif, pendekatan
perundang-undangan (Statute approach), pendekatan konsep (Conceptual approach),
pendekatan perbandingan (Comparative approach). Masalah ini dianalisis dengan
penalaran deduktif dan analisis korelatif, selanjutnya dibahas dengan metode
penelitian kepustakaan dan dengan teknik dokumentasi dan pengutipan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam perspektif Mazhab Syafi’i dan
UU. No.1 Tahun 1974 yang diterapkan di Pengadilan Agama, mempunyai prinsip
yang berbeda mengenai talak tiga sekaligus dan proses penjatuhan talak. Perbedaan
mengenai talak tiga sekaligus akan berdampak pada status hukum wanita yang
dijatuhi talak tiga sekaligus. Dalam literatur Mazhab Syafi’i disebutkan, bahwa talak
tiga sekaligus dianggap sah dan proses penjatuhan talak terhitung sejak redaksi talak
diucapkan meskipun di luar sidang pengadilan, ini merupakan titik kelemahan fikih
yang cenderung lebih memprioritaskan segala sesuatu dari sudut pandang legal,
dalam hal ini bisa dikatakan bahwa fikih hanya memandang segala sesuatu dari luar
yang bersifat objektif. Sedangkan dalam UU. No.1 Tahun 1974 disebutkan,
walaupun sudah talak yang ke tiga disaat melakukan talak di pengadilan, pengadilan
hanya mencatatnya sebagai talak satu. Status hukum wanita yang dijatuhi talak tiga
sekaligus menurut Mazhab Syafi’I adalah tidak boleh rujuk kepada suaminya dan
termasuk talak Ba’in Kubra yang boleh kembali dengan suaminya apabila si wanita
yang dijatuhi talak tiga sekaligus itu menikah dengan pria lain dan sudah merasakan
madu diantara keduanya lalu bercerai. Sedangkan ketika suami mentalak istrinya
dengan talak tiga sekaligus menurut UU. No.1 Tahun 1974 tetap menjatuhkan dengan
talak satu dan status hukum wanitanya bisa rujuk atau kembali dengan suaminya
selama masa ‘iddah tetap berlangsung, akan tetapi jika masa ‘iddahnya telah habis
bisa kembali dengan suaminya melalui pernikahan dan mahar yang baru. Istrinya juga
masih berhak mendapatkan mut’ah dari mantan suami. Meskipun telah diketahui
bahwa hukum positif mengadopsi dari pendapat para fuqaha, namun di sisi lain UU.
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan lebih cenderung memilih pendapat yang
sekiranya lebih disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan diadaptasikan dengan
masyarakat Indonesia.
A. Kesimpulan
1. Penjatuhan talak menurut kebanyakan pengikut Ahlusunnah, tidak disyaratkan
dengan satu syaratpun yang dapat menghalangi segera jatuhnya talak, seperti
perempuan tidak sedang dalam masa haid, tidak suci setelah bercampur, atau
keharusan hadirnya dua orang saksi yang adil. Proses penjatuhan talak menurut
Mazhab Syafi’I bahwa jika suami mengatakan kepada istrinya,”engkau adalah
orang yang tertalak” serta diniatkan talak maka jatuhlah talak. Jika diniatkan
talak satu, maka jatuh talak satu. Jika diniatkan talak dua atau tiga maka jatuh
talak dua atau tiga.
Proses penjatuhan talak menurut UU. No. 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan
dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.
Adapun alasan-alasan perceraian yaitu: Salah satu pihak berbuat zina atau
menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya, salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5
tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain, salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri, antar suami istri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
UU. No. 1 Tahun 1974 tidak menyinggung adanya talak tiga sekaligus.
Sebagaimana tata cara perceraian yang disebutkan dalam peraturan perundang-
undangan, maka talak tiga sekaligus tidak akan terjadi, sebab talak di proses di
pengadilan dan sesuai dengan aturan pengadilan. Hal ini disebabkan undang-
undang memiliki beberapa prinsip, diantaranya yaitu untuk menjamin cita-cita
yang luhur dari perkawinan dan prinsip mempersulit perceraian demi untuk
terwujudnya kemaslahatan.
2. Status hukum wanita yang dijatuhi talak tiga sekaligus menurut Mazhab Syafi’I
adalah tidak boleh rujuk kepada suaminya dan termasuk talak Ba’in Kubra
yang boleh kembali dengan suaminya apabila si wanita yang dijatuhi talak tiga
sekaligus itu menikah dengan pria lain dan sudah merasakan madu diantara
keduanya lalu bercerai.
Berbeda dengan UU. No.1 Tahun 1974 yang dapat dilihat pada Pasal 39
UU. No. 1 Tahun 1974 yaitu proses pengucapan ikrar talak yang harus di depan
persidangan dan disaksikan oleh para hakim Pengadilan Agama. Apabila
pengucapan ikrar talak itu dilakukan di luar persidangan maka talak tersebut
merupakan talak di lingkungan yang dianggap tidak sah dan tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat. Jadi ketika suami mentalak istrinya dengan
talak tiga sekaligus maka menurut UU. No.1 tahun 1974 tetap menjatuhkan
dengan talak satu dan status hukum wanitanya bisa rujuk atau kembali dengan
suaminya selama masa ‘iddah tetap berlangsung, akan tetapi jika masa
‘iddahnya telah habis bisa kembali dengan suaminya melalui pernikahan dan
mahar yang baru. Istrinya juga masih berhak mendapatkan mut’ah dari mantan
suami.
B. Saran
UU. No.1 Tahun 1974 lebih cocok dijadikan sebagai dasar hukum perceraian
karena diambil dari pendapat-pendapat yang lebih tahu kondisi masyarakat
Indonesia saat ini. Akan tetapi sebaiknya tidak melupakan sama sekali kepada
pendapat Mazhab Syafi’I yang terdahulu, karena dengan fikih merekalah yang
dapat mengenal dasar-dasar hukum Syar’I khususnya dalam masalah perceraian.
Selain itu, Mazhab Syafi’I menjadi hukum yang dikenal masyarakat yeng
pendapat amaliyahnya diikuti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, maka
sebaiknya pendapat Mazhab Syafi’I juga dapat memberikan konstribusi mengenai
kebolehan ikrar talak tiga sekaligus di Pengadilan Agama, kalau memang dalam
keadaan genting atau darurat untuk dilakukan.
Ketersediaan
| SSYA20200018 | 18/2020 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
18/2020
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2020
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
