Kewarisan Bagi Ahli Waris yang Mempunyai Cacat Mental (Sakit Jiwa) (Menurut Hukum Islam dan KUHPerdata
Miftahul Khaera/01.16.1059 - Personal Name
Skripsi ini membahas mengenai “kewarisan Bagi Ahli Waris yang
Mempunyai Cacat Mental (Sakit Jiwa) (Menurut Hukum Islam dan KUHPerdata)”.
Pada dasarnya kewarisan adalah pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
pewaris kepada ahli warisnya yang masih hidup serta bagiannya masing-masing.
Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembagian kewarisan antara
hukum Islam dan KUHPerdata yang di mana ahli waris yang mempunyai cacat
mental (sakit jiwa), apakah terdapat perbedaan atau sama saja.
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitin kepustakaan (library
research) yaitu dengan membaca, menelaah, mengutip buku-buku, jurnal-jurnal serta
tulisan-tulisan lainnya yang berhubungan dengan konsep kewarisan cacat mental
(sakit jiwa) dari segi Hukum Islam dan KUHPerdata. Pendekatan penelitian yang
digunakan adalah pendekatan teologis normatif dan pendekatan yuridis normatif.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa ahli
waris yang mempunyai cacat mental (sakit jiwa) tetap mendapatkan hak warisan dari
pewarisnya baik dari konsep hukum Islam maupun KUHPerdata. Dalam hukum
Islam ahli waris cacat mental (sakit jiwa) tetap mendapatkan warisan tetapi harus
ditaruh di bawah perwalian dan dipersamakan dengan anak yang belum dewasa
seperti yang dijelaskan dalam Pasal 184 KHI. Begitupun dalam KUHPerdata ahli
waris cacat mental (sakit jiwa) tetap mendapatkan warisan demi kesejahteraannya
dalam melangsungkan hidupnya dengan ditaruh di bawah pengampuan seperti yang
dijelaskan dalam Pasal 433 KUHPerdata. Jadi ahli waris cacat mental (sakit jiwa)
untuk mendapatkan warisan tersebut harus dibantu oleh walinya atau pengampunya.
A. Simpulan
1. Status hukum ahli waris yang mempunyai cacat mental (sakit jiwa) dalam
kewarisan menurut hukum Islam yaitu di mana Ahli waris cacat mental (sakit
jiwa) tidak memiliki halangan mewaris karena tidak ada dituliskan baik
dalam al-Qur’an maupun Hadis tentang larangan bagi ahli waris cacat mental
(sakit jiwa) dalam mewaris. Akan tetapi untuk menjadi ahli waris, anak cacat
mental tersebut harus ditaruh di bawah perwalian, seperti yang dijelaskan
dalam Pasal 184 KHI “bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu
melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali
berdasarkan keputusan Hakim atau usul anggota keluarga”. berdasarkan isi
pasal tersebut maka orang yang mempunyai cacat mental dipersamakan
dengan orang yang belum dewasa atau tidak mampu melakukan hak dan
kewajibannya. Sehingga untuk mendapatkan warisan harus ditaruh di bawah
perwalian. Jadi ahli waris cacat mental itu tetap mendapatkan warisan dari
pewarisnya dengan dibantu oleh walinya.
2. Status hukum ahli waris yang mempunyai cacat mental dalam bidang
kewarisan menurut KUHPerdata yaitu di mana Ahli waris cacat mental (sakit
jiwa) tidak memiliki halangan mewaris jika dilihat dari orang-orang yang
tidak patut mewarisi yang terdapat dalam Pasal 838 KUHPerdata, dalam
pasal tersebut tidak terdapat orang yang mempunyai cacat mental, maka dari
itu orang yang mempunyai cacat mental (sakit jiwa) termasuk dalam ahli
waris karena untuk kesejahteraan orang tersebut dalam melansungkan
hidupnya, yang mana tentu membutuhkan biaya sehingga warisan yang
diterima oleh orang yang mengalami cacat mental tersebut dapat digunakan
untuk kebutuhan dan kepentingan hidupnya. Tetapi dengan syarat yaitu
dibantu oleh pengampunya (kuratornya). seperti yang terdapat dalam Pasal
433 KUHPerdata. “setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan
dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun
jika ia cakap mempergunakan pikirannya.” Jadi ahli waris cacat mental itu
tetap berhak mendapatkan warisan dari pewarisnya dengan dibantu oleh
pengampunya (kuratornya).
B. Implikasi
Mengenai masalah pengampuan agar kiranya l mendapat perhatian yang
lebih serius lagi mengingat bahwa hal tersebut berkaitan dengan asas
perlindungan Hak Asasi Manusia.
Kepada seseorang yang bertindak sebagai wali atau pengampu agar
kiranya dapat menjaga amanah dan kepercayaan atas hak-hak dari si terampu
yang ditanggungnya. Serta dapat mempertanggung jawabkan pengampuannya
secara hukum.
Mempunyai Cacat Mental (Sakit Jiwa) (Menurut Hukum Islam dan KUHPerdata)”.
Pada dasarnya kewarisan adalah pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
pewaris kepada ahli warisnya yang masih hidup serta bagiannya masing-masing.
Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembagian kewarisan antara
hukum Islam dan KUHPerdata yang di mana ahli waris yang mempunyai cacat
mental (sakit jiwa), apakah terdapat perbedaan atau sama saja.
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitin kepustakaan (library
research) yaitu dengan membaca, menelaah, mengutip buku-buku, jurnal-jurnal serta
tulisan-tulisan lainnya yang berhubungan dengan konsep kewarisan cacat mental
(sakit jiwa) dari segi Hukum Islam dan KUHPerdata. Pendekatan penelitian yang
digunakan adalah pendekatan teologis normatif dan pendekatan yuridis normatif.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa ahli
waris yang mempunyai cacat mental (sakit jiwa) tetap mendapatkan hak warisan dari
pewarisnya baik dari konsep hukum Islam maupun KUHPerdata. Dalam hukum
Islam ahli waris cacat mental (sakit jiwa) tetap mendapatkan warisan tetapi harus
ditaruh di bawah perwalian dan dipersamakan dengan anak yang belum dewasa
seperti yang dijelaskan dalam Pasal 184 KHI. Begitupun dalam KUHPerdata ahli
waris cacat mental (sakit jiwa) tetap mendapatkan warisan demi kesejahteraannya
dalam melangsungkan hidupnya dengan ditaruh di bawah pengampuan seperti yang
dijelaskan dalam Pasal 433 KUHPerdata. Jadi ahli waris cacat mental (sakit jiwa)
untuk mendapatkan warisan tersebut harus dibantu oleh walinya atau pengampunya.
A. Simpulan
1. Status hukum ahli waris yang mempunyai cacat mental (sakit jiwa) dalam
kewarisan menurut hukum Islam yaitu di mana Ahli waris cacat mental (sakit
jiwa) tidak memiliki halangan mewaris karena tidak ada dituliskan baik
dalam al-Qur’an maupun Hadis tentang larangan bagi ahli waris cacat mental
(sakit jiwa) dalam mewaris. Akan tetapi untuk menjadi ahli waris, anak cacat
mental tersebut harus ditaruh di bawah perwalian, seperti yang dijelaskan
dalam Pasal 184 KHI “bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu
melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali
berdasarkan keputusan Hakim atau usul anggota keluarga”. berdasarkan isi
pasal tersebut maka orang yang mempunyai cacat mental dipersamakan
dengan orang yang belum dewasa atau tidak mampu melakukan hak dan
kewajibannya. Sehingga untuk mendapatkan warisan harus ditaruh di bawah
perwalian. Jadi ahli waris cacat mental itu tetap mendapatkan warisan dari
pewarisnya dengan dibantu oleh walinya.
2. Status hukum ahli waris yang mempunyai cacat mental dalam bidang
kewarisan menurut KUHPerdata yaitu di mana Ahli waris cacat mental (sakit
jiwa) tidak memiliki halangan mewaris jika dilihat dari orang-orang yang
tidak patut mewarisi yang terdapat dalam Pasal 838 KUHPerdata, dalam
pasal tersebut tidak terdapat orang yang mempunyai cacat mental, maka dari
itu orang yang mempunyai cacat mental (sakit jiwa) termasuk dalam ahli
waris karena untuk kesejahteraan orang tersebut dalam melansungkan
hidupnya, yang mana tentu membutuhkan biaya sehingga warisan yang
diterima oleh orang yang mengalami cacat mental tersebut dapat digunakan
untuk kebutuhan dan kepentingan hidupnya. Tetapi dengan syarat yaitu
dibantu oleh pengampunya (kuratornya). seperti yang terdapat dalam Pasal
433 KUHPerdata. “setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan
dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun
jika ia cakap mempergunakan pikirannya.” Jadi ahli waris cacat mental itu
tetap berhak mendapatkan warisan dari pewarisnya dengan dibantu oleh
pengampunya (kuratornya).
B. Implikasi
Mengenai masalah pengampuan agar kiranya l mendapat perhatian yang
lebih serius lagi mengingat bahwa hal tersebut berkaitan dengan asas
perlindungan Hak Asasi Manusia.
Kepada seseorang yang bertindak sebagai wali atau pengampu agar
kiranya dapat menjaga amanah dan kepercayaan atas hak-hak dari si terampu
yang ditanggungnya. Serta dapat mempertanggung jawabkan pengampuannya
secara hukum.
Ketersediaan
| SSYA20200099 | 99/2020 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
99/2020
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2020
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
