Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 Tentang Batas Pengajuan Grasi Terhadap Undang -Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Gras
Nur Faisyah/01.14.4033 - Personal Name
Skripsi ini berjudul “Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
107/PUU-XIII/2015 Tentang Batas Pengajuan Grasi Terhadap Undang -Undang
Nomor 5 Tahun 2010 Pasal 7 Ayat (2) Tentang Grasi)”, Tujuan dari penelitian adalah
(1)Untuk mengetahui landasan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-
XIII/2015 tentang batas pengajuan grasi., (2) Untuk mengetahui implikasi pembatalan
batasan waktu pengajuan grasi terhadap tercapainya tujuan hukum.
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dengan
menggunakan berbagai pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif. Adapun
sumber data penelitian ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-
XIII/2015 dan Undang -Undang Nomor 5 Tahun 2010 Pasal 7 ayat (2) tentang Grasi
Selanjutnya, metode pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan.
Lalu, tekhnik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan melalui tiga tahapan,
yaitu: Metode induktif, metode induktif, dan metode komparatif dan kemudian ditarik
suatu kesimpulan secara khusus yang merupakan jawaban permasalahan berdasarkan
hasil penelitian..
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 107/PUU-XIII/2015 Tentang Batas Pengajuan Grasi telah tepat dan tidak
menyebabkan tujuan hukum tidak tercapai. Hal tersebut dikarenakan dalam putusan
tersebut telah menyebutkan bahwa dengan adanya batas pengajuan grasi pada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Pasal 7 ayat (2) telah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sehingga telah tepat Pasal 7 ayat (2) ini dihapus
dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap, Pasal 7 ayat (2) ini berpotensi untuk
membatasi hak warga negara dalam mencari keadilan, kepastian hukum akan tetap di
dapatkan karena setelah terpidana mendapatkan putusan yang kekuatan hukum tetap
maka grasi dapat diajukan dan tidak akan memberikan penundaan dalam proses
eksekusi putusan oleh Jaksa.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian penulis, maka dapat diambil kesimpulan antara
lain sebagai berikut:
1. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan keputusan
Nomor 107/PUU-XIII/2015 melalui berbagai pertimbangan diantaranya
pemohon telah memenuhi syarat untuk mengajukan judicial review, undang-
undang benar-benar bertentangan dengan Pasal dalam Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi benar memiliki dasar untuk melakukan
judicial review, melalui beberapa persidangan yang menghadirkan kedua
belah pihak dari pihak pemohon dan termohon dalam hal ini pemerintah,
hingga kemudian Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor
107/PUU-XIII/2015 sehingga Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2010 Tentang Grasi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena
dianggap telah bertentangan dengan UUD 1945 karena pada hakikatnya grasi
merupakan penegakan, pemenuhan keadilan, dan perlindungan hak asasi
manusia, jadi secara tidak langsung apabila pembatasan pengajuan grasi
berlaku maka hak-hak terpidana menjadi terbatasi.
2. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 apabila
ditinjau dari tujuan hukum yakni keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, bahwa
dengan dicabutnya Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010
dampak utama dari pencabutan ini bahwa dalam mengajukan permohonan
grasi terpidana tidak lagi dibatasi oleh waktu seperti yang diatur dalam Pasal 7
ayat (2) tersebut, tetapi ketika seorang terpidana kasusnya sudah memiliki
kekuatan hukum yang bersifat tetap artinya tidak ada upaya hukum lagi,
ataupun tidak ingin melakukan upaya hukum lagi, maka seorang terpidana
bisa mengajukan grasi kepada presiden tanpa batas waktu karena dianggap
bahwa grasi ini harus mencerminkan keadilan hukum dan hanya dapat
diajukan satu kali.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian penulis, maka menulis mengajukan saran sebagai
berikut:
1. Bahwa pembuat undang-undang yang merupakan tugas dari lembaga legislatif
dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam
mengeluarkan undang-undang sebaiknya mempertimbangkan berbagai hal
dari berbagai sudut pandang agar nantinya undang-undang yang dilahirkan
tidak akan merugikan masyarakat apabila telah berlaku dan agar undang-
undang yang dilahirkan tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena jika
tidak melalui berbagai pertimbangan matang suatu produk undang-undang
hanya akan merugikan masyarakat luas pada umumnya.
2. Masyarakat dalam hal ini harus kritis dalam menyikapi undang-undang yang
dilahirkan oleh pihak lembaga legislatif agar kemudian jika ada pasal yang
bertentangan dengan suatu undang-undang yang berpotensi akan merugikan
hak warga negara dapat dimohonkan di Mahkamah Konstitusi untuk
kemudian dilakukan judicial review terhadap undang-undang yang dipandang
berpotensi bertentangan dan merugikan kepentingan dan hak warga negara.
107/PUU-XIII/2015 Tentang Batas Pengajuan Grasi Terhadap Undang -Undang
Nomor 5 Tahun 2010 Pasal 7 Ayat (2) Tentang Grasi)”, Tujuan dari penelitian adalah
(1)Untuk mengetahui landasan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-
XIII/2015 tentang batas pengajuan grasi., (2) Untuk mengetahui implikasi pembatalan
batasan waktu pengajuan grasi terhadap tercapainya tujuan hukum.
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dengan
menggunakan berbagai pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif. Adapun
sumber data penelitian ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-
XIII/2015 dan Undang -Undang Nomor 5 Tahun 2010 Pasal 7 ayat (2) tentang Grasi
Selanjutnya, metode pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan.
Lalu, tekhnik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan melalui tiga tahapan,
yaitu: Metode induktif, metode induktif, dan metode komparatif dan kemudian ditarik
suatu kesimpulan secara khusus yang merupakan jawaban permasalahan berdasarkan
hasil penelitian..
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 107/PUU-XIII/2015 Tentang Batas Pengajuan Grasi telah tepat dan tidak
menyebabkan tujuan hukum tidak tercapai. Hal tersebut dikarenakan dalam putusan
tersebut telah menyebutkan bahwa dengan adanya batas pengajuan grasi pada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Pasal 7 ayat (2) telah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sehingga telah tepat Pasal 7 ayat (2) ini dihapus
dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap, Pasal 7 ayat (2) ini berpotensi untuk
membatasi hak warga negara dalam mencari keadilan, kepastian hukum akan tetap di
dapatkan karena setelah terpidana mendapatkan putusan yang kekuatan hukum tetap
maka grasi dapat diajukan dan tidak akan memberikan penundaan dalam proses
eksekusi putusan oleh Jaksa.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian penulis, maka dapat diambil kesimpulan antara
lain sebagai berikut:
1. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan keputusan
Nomor 107/PUU-XIII/2015 melalui berbagai pertimbangan diantaranya
pemohon telah memenuhi syarat untuk mengajukan judicial review, undang-
undang benar-benar bertentangan dengan Pasal dalam Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi benar memiliki dasar untuk melakukan
judicial review, melalui beberapa persidangan yang menghadirkan kedua
belah pihak dari pihak pemohon dan termohon dalam hal ini pemerintah,
hingga kemudian Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor
107/PUU-XIII/2015 sehingga Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2010 Tentang Grasi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena
dianggap telah bertentangan dengan UUD 1945 karena pada hakikatnya grasi
merupakan penegakan, pemenuhan keadilan, dan perlindungan hak asasi
manusia, jadi secara tidak langsung apabila pembatasan pengajuan grasi
berlaku maka hak-hak terpidana menjadi terbatasi.
2. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 apabila
ditinjau dari tujuan hukum yakni keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, bahwa
dengan dicabutnya Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010
dampak utama dari pencabutan ini bahwa dalam mengajukan permohonan
grasi terpidana tidak lagi dibatasi oleh waktu seperti yang diatur dalam Pasal 7
ayat (2) tersebut, tetapi ketika seorang terpidana kasusnya sudah memiliki
kekuatan hukum yang bersifat tetap artinya tidak ada upaya hukum lagi,
ataupun tidak ingin melakukan upaya hukum lagi, maka seorang terpidana
bisa mengajukan grasi kepada presiden tanpa batas waktu karena dianggap
bahwa grasi ini harus mencerminkan keadilan hukum dan hanya dapat
diajukan satu kali.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian penulis, maka menulis mengajukan saran sebagai
berikut:
1. Bahwa pembuat undang-undang yang merupakan tugas dari lembaga legislatif
dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam
mengeluarkan undang-undang sebaiknya mempertimbangkan berbagai hal
dari berbagai sudut pandang agar nantinya undang-undang yang dilahirkan
tidak akan merugikan masyarakat apabila telah berlaku dan agar undang-
undang yang dilahirkan tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena jika
tidak melalui berbagai pertimbangan matang suatu produk undang-undang
hanya akan merugikan masyarakat luas pada umumnya.
2. Masyarakat dalam hal ini harus kritis dalam menyikapi undang-undang yang
dilahirkan oleh pihak lembaga legislatif agar kemudian jika ada pasal yang
bertentangan dengan suatu undang-undang yang berpotensi akan merugikan
hak warga negara dapat dimohonkan di Mahkamah Konstitusi untuk
kemudian dilakukan judicial review terhadap undang-undang yang dipandang
berpotensi bertentangan dan merugikan kepentingan dan hak warga negara.
Ketersediaan
| SS20180031 | 31/2018 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
31/2018
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2018
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
