Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 Mengenai Pembatalan Larangan Mantan Narapidana Korupsi Menjadi Calon Legislatif pada Pemilihan Umum 2019
Nurlindah/01.15.4029 - Personal Name
Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu memandang korupsi
sebagai kejahatan luar biasa yang sudah sering dilakukan oleh anggota legislatif. Oleh
karenanya, KPU membuat aturan pelarangan mantan terpidana korupsi menjadi calon
legislatif pada Pemilihan Umum 2019 yang dituangkan dalam Pasal 4 ayat (3)
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan
Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Akan tetapi, aturan
tersebut dibatalkan dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung Nomor 46
P/HUM/2018. Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah
bagaimana pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 46
P/HUM/2018 dengan tujuan penelitian agar tujuan hukum pertimbangan hakim
dalam putusan a quo dapat dipahami secara mendalam.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Bahan hukum
penelitian dikumpulkan dengan cara menginventarisasi dan pengklasifikasian lalu
dianalisis secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk deskriptif. Sementara,
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan
konseptual. Adapun landasan teori dalam pemaparan hasil penelitian adalah teori
tujuan hukum oleh Gustav Radbruch yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan yang
diperbandingkan dengan hukum Islam.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertimbangan Mahkamah Agung
membatalkan Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 karena dianggap bertentangan
dengan Pasal 240 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undang. Pertimbangan Mahkamah Agung pada putusan a quo telah
memuat ketiga tujuan hukum. Namun lebih condong pada kepastian hukum, sehingga
tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Penyebab tidak
tercapainya nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat dalam putusan a quo karena
landasan pengujian peraturan tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum tidak melarang hal demikian, padahal aturan pencalonan
pada badan eksekutif yaitu Presiden dan Wakil Presiden mensyaratkan tidak memiliki
track record yang buruk. Hal ini seharusnya juga berlaku bagi calon legislatif
mengingat lembaga legislatif sama pentingnya dengan lembaga eksekutif. Begitupun
jika dilihat dari hukum Islam yang mensyaratkan calon legislatif yang disebut ahlul
ahli wal aqdi harus memiliki sifat adil yang berarti memiliki integritas dan citra yang
baik di masyarakat.
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan skripsi yang telah diuraikan di atas, penulis dapat
menarik kesimpulan sebagai berikut:
Mahkamah Agung sebagai lembaga kehakiman memiliki kewenangan
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang. Salah satu peraturan perundang-undangan yang diuji yaitu Pasal 4 ayat (3),
Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi,
DPRD Kabupaten/Kota. Peraturan tersebut mengatur larangan mantan terpidana
korupsi menjadi calon legislatif. Mahkamah Agung menilai bahwa peraturan tersebut
bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017
tentang Pemilihan Umum juncto Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang, sehingga PKPU tersebut batal
demi hukum dan diputus dengan nomor perkara 46 P/HUM/2018. Putusan Nomor 46
P/HUM/2018 memuat tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Ketiga aspek ini dapat dilihat dari pertimbangan majelis hakim dalam memutus
perkara a quo. Didapatkan bahwa putusan ini telah memenuhi ketiga aspek tujuan
hukum, tetapi lebih condong pada kepastian hukum, sementara aspek keadilan dan
kemanfaatan tidak begitu tercapai secara proporsional. Penyebabnya, karena landasan
pengujian peraturan KPU tersebut memang sudah tidak mencerminkan asas keadilan
dan kemanfaatan yang sesuai dengan cita-cita yang hidup di masyarakat yaitu
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang tetap
membolehkan mantan narapidana menjadi calon legislatif dengan syarat
mempublikasikan bahwa dirinya adalah mantan narapidana. Meski demikian,
semangat KPU untuk memberantas korupsi di lembaga legislatif tetap harus
berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan membuat
aturan yang sejalan dengan undang-undang yang menjadi landasan pemberian
kewenangannya.
B. Saran
Adapun saran penulis dari pembahasan skripsi di atas dan untuk
penyelenggaraan pemilihan umum kedepannya, yaitu:
1. Sebaiknya, masyarakat menerima putusan Mahkamah Agung Nomor 46
P/HUM/2018 yang telah membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota dengan tetap dilaksanakan dan ditaati karena
telah berkekuatan hukum tetap.
2. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya merevisi Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum dengan memuat syarat bagi calon anggota legislatif
harus berintegritas dengan tidak memiliki rekam jejak pernah melakukan
tindak pidana, sehingga tercipta pemilihan umum yang berintegritas dan
melahirkan anggota legislatif yang berintegritas.
sebagai kejahatan luar biasa yang sudah sering dilakukan oleh anggota legislatif. Oleh
karenanya, KPU membuat aturan pelarangan mantan terpidana korupsi menjadi calon
legislatif pada Pemilihan Umum 2019 yang dituangkan dalam Pasal 4 ayat (3)
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan
Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Akan tetapi, aturan
tersebut dibatalkan dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung Nomor 46
P/HUM/2018. Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah
bagaimana pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 46
P/HUM/2018 dengan tujuan penelitian agar tujuan hukum pertimbangan hakim
dalam putusan a quo dapat dipahami secara mendalam.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Bahan hukum
penelitian dikumpulkan dengan cara menginventarisasi dan pengklasifikasian lalu
dianalisis secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk deskriptif. Sementara,
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan
konseptual. Adapun landasan teori dalam pemaparan hasil penelitian adalah teori
tujuan hukum oleh Gustav Radbruch yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan yang
diperbandingkan dengan hukum Islam.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertimbangan Mahkamah Agung
membatalkan Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 karena dianggap bertentangan
dengan Pasal 240 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undang. Pertimbangan Mahkamah Agung pada putusan a quo telah
memuat ketiga tujuan hukum. Namun lebih condong pada kepastian hukum, sehingga
tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Penyebab tidak
tercapainya nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat dalam putusan a quo karena
landasan pengujian peraturan tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum tidak melarang hal demikian, padahal aturan pencalonan
pada badan eksekutif yaitu Presiden dan Wakil Presiden mensyaratkan tidak memiliki
track record yang buruk. Hal ini seharusnya juga berlaku bagi calon legislatif
mengingat lembaga legislatif sama pentingnya dengan lembaga eksekutif. Begitupun
jika dilihat dari hukum Islam yang mensyaratkan calon legislatif yang disebut ahlul
ahli wal aqdi harus memiliki sifat adil yang berarti memiliki integritas dan citra yang
baik di masyarakat.
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan skripsi yang telah diuraikan di atas, penulis dapat
menarik kesimpulan sebagai berikut:
Mahkamah Agung sebagai lembaga kehakiman memiliki kewenangan
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang. Salah satu peraturan perundang-undangan yang diuji yaitu Pasal 4 ayat (3),
Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi,
DPRD Kabupaten/Kota. Peraturan tersebut mengatur larangan mantan terpidana
korupsi menjadi calon legislatif. Mahkamah Agung menilai bahwa peraturan tersebut
bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017
tentang Pemilihan Umum juncto Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang, sehingga PKPU tersebut batal
demi hukum dan diputus dengan nomor perkara 46 P/HUM/2018. Putusan Nomor 46
P/HUM/2018 memuat tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Ketiga aspek ini dapat dilihat dari pertimbangan majelis hakim dalam memutus
perkara a quo. Didapatkan bahwa putusan ini telah memenuhi ketiga aspek tujuan
hukum, tetapi lebih condong pada kepastian hukum, sementara aspek keadilan dan
kemanfaatan tidak begitu tercapai secara proporsional. Penyebabnya, karena landasan
pengujian peraturan KPU tersebut memang sudah tidak mencerminkan asas keadilan
dan kemanfaatan yang sesuai dengan cita-cita yang hidup di masyarakat yaitu
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang tetap
membolehkan mantan narapidana menjadi calon legislatif dengan syarat
mempublikasikan bahwa dirinya adalah mantan narapidana. Meski demikian,
semangat KPU untuk memberantas korupsi di lembaga legislatif tetap harus
berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan membuat
aturan yang sejalan dengan undang-undang yang menjadi landasan pemberian
kewenangannya.
B. Saran
Adapun saran penulis dari pembahasan skripsi di atas dan untuk
penyelenggaraan pemilihan umum kedepannya, yaitu:
1. Sebaiknya, masyarakat menerima putusan Mahkamah Agung Nomor 46
P/HUM/2018 yang telah membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota dengan tetap dilaksanakan dan ditaati karena
telah berkekuatan hukum tetap.
2. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya merevisi Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum dengan memuat syarat bagi calon anggota legislatif
harus berintegritas dengan tidak memiliki rekam jejak pernah melakukan
tindak pidana, sehingga tercipta pemilihan umum yang berintegritas dan
melahirkan anggota legislatif yang berintegritas.
Ketersediaan
| SS20190003 | 03/2019 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
03/2019
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2019
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
