Kedudukan Wali Hakim Bagi Wanita Muallaf Tinjauan Hukum Islam
Dery Hadibianto Muchrin/01.15.1120 - Personal Name
Skripsi ini membahas mengenai kedudukan wali hakim bagi wanita
muallaf. Pokok permasalahannya adalah penyebab wanita muallaf berwalikan
hakim dan kedudukan wali hakim dalam pernikahan. Penelitian ini merupakan
penelitian pustaka, menggunakan metode pendekatan deskriptif, teologis normatif
dan yuridis normatif serta disajikan secara kualitatif. Data dalam penelitian ini
diperoleh melalui studi dokumen atau bahan pustaka. Penelitian pustaka, yaitu
penulis menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya dengan cara menelaah
dan meneliti terhadap sumber-sumber kepustakaan baik Al-Qur’an, Sunnah, buku-
buku fikih atau karya-karya ilmiah dan artikel yang berkaitan dengan masalah
perwalian hakim ditinjau dari hukum Islam. Penelitian ini diharapkan dapat
memberi sumbangsih dan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
pada umumnya dan ilmu keIslaman pada khususnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebab wanita muallaf berwalikan
hakim pada umumnya menurut pasal 23 Kompilasi Hukum Islam, secara rinci
dijelaskan dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2005 tentang Wali Hakim, diataranya; sudah tidak ada hubungan keluarga (wali
nasab), walinya tidak berada di tempat/sedang berada di luar negeri (Wali Ghaib)
dan wali-wali nasab menolak atau enggan menikahkan (wali adhal), kedua, karena
wali nasabnya bukan Muslim. Pendapat pertama; Jumhur ‘Ulama (Syāfi’i, Mālik
dan Aḥmad bin Hanbal) berpendapat bahwa wali dalam pernikahan merupakan
rukun pernikahan. Pendapat kedua; Abû Hanifah, Abû Yûsuf, Imamiyah, Zufar,
al-Sya’bi, al-Zuhriy dan Daud berpendapat bahwa wali dalam perkawinan hanya
disyaratkan bagi wanita yang belum dewasa, sedangkan wanita yang sudah
dewasa dan janda boleh menikahkan dirinya sendiri. Menurut UU Perkawinan
wali hanya sebatas memberikan izin dan izinnya merupakan syarat sahnya untuk
melakukan pernikahan. Pasal 19 kompilasi hukum Islam (KHI) tidak menjelaskan
secara rinci, wali yang dimaksud adalah meliputi wali nasab dan wali hakim
A. Simpulan
Berdasarkan analisis data terhadap rumusan masalah sebelumnya maka
dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Penyebab utama wanita muallaf berwalikan hakim adalah karena wali
nasabnya bukan Muslim. Misal, bila ayah kandung wanita muallaf yang
hendak menikah telah masuk Islam maka ia dapat menjadi wali dalam
akad nikahnya. Namun bila sang ayah masih tetap pada agama asalnya
maka ia tidak dapat menjadi wali nikah bagi putrinya yang telah memeluk
agama Islam karena syarat wali harus beragama Islam.
Pada umumnya seorang wanita berwalikan hakim meliputi
beberapa faktor menurut pasal 23 Kompilasi Hukum Islam, secara rinci
dijelaskan dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30
tahun 2005 tentang Wali Hakim, diantanya; Sudah tidak ada hubungan
keluarga (wali nasab), walinya tidak berada di tempat/sedang berada di
luar negeri (Wali Ghaib) dan wali-wali nasab menolak atau enggan
menikahkan (wali adhal). Salah satu permasalahan yang muncul dalam hal
pernikahan adalah persoalan wali nikah bagi wanita muallaf. Yang di
maksud wanita muallaf di sini adalah wanita non-Muslim yang lahir dari
pasangan suami istri non-Muslim dalam sebuah pernikahan yang
dilakukan tidak secara Islam dan kemudian wanita tersebut memeluk
agama Islam.
2. Kedudukan wali menurut pendapat para fuqaha, yaitu:
Pendapat pertama; Jumhur ‘Ulama (Syāfi’i, Mālik dan Ahmad bin
Hanbal) berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah merupakan
salah satu rukun pernikahan. Maksudnya suatu pernikahan tidak sah (batal)
apabila tanpa dengan adanya wali. Ini disebabkan karena wanita dipandang
tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, bahkan menunjuk orang lain untuk
menikahkannya, kecuali yang berhak menjadi wali menurut yang
ditetapkan dalam syari’at.
Pendapat kedua; Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imamiyah, Zufar, al-
Sya’bi, al-Zuhriy dan Daud berpendapat bahwa wali dalam perkawinan
hanya disyaratkan bagi wanita yang belum dewasa, sedangkan wanita yang
sudah dewasa dan janda boleh menikahkan dirinya sendiri. Hal ini berarti
bahwa wali dipandang tidak termasuk salah satu rukun pernikahan.
Dengan demikian, pernikahan sah tanpa dengan wali.
Mengenai kedudukan wali nikah dalam pelaksanaan akad nikah
tidak dijelaskan secara jelas dalam UU Perkawinan. Ia hanya sebatas
memberikan izin, dan izinnya merupakan syarat sahnya untuk melakukan
pernikahan bagi orang yang dibawah kewaliannya, hal tersebut berlaku
bagi wanita yang belum dewasa. .
B. Implikasi
Akhir kata dari penyusunan skripsi ini, penyusun mengharapkan manfaat
bagi kita semua. Sebelum mengakhiri tulisan ini, penyusun ingin memberikan
sedikit saran pada para pihak yang berkompeten dalam bidang ini, khususnya
kepada para pembaca.
1.Dalam perkawinan yang berhak menjadi wali yakni orang yang
mempunyai hubungan kerabat dengan calon mempelai. Agar perkawinan
dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam maka dalam penunjukan wali
harus sesuai syariat Islam.
2.Dalam perwalian bagi wanita muallaf harus ada persetujuan dari
beberapa kerabat lain, agar perkawinan tersebut berlangsung sesuai dengan
ajaran Islam. Wanita muallaf berwalikan hakim apabila wali nasab lainnya
tidak ada yang beragama Islam, selama ada wali nasab lainnya yang
beragama Islam, maka yang berhak menjadi wali adalah wali nasab dari
wanita muallaf tersebut, bukan wali hakim.
muallaf. Pokok permasalahannya adalah penyebab wanita muallaf berwalikan
hakim dan kedudukan wali hakim dalam pernikahan. Penelitian ini merupakan
penelitian pustaka, menggunakan metode pendekatan deskriptif, teologis normatif
dan yuridis normatif serta disajikan secara kualitatif. Data dalam penelitian ini
diperoleh melalui studi dokumen atau bahan pustaka. Penelitian pustaka, yaitu
penulis menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya dengan cara menelaah
dan meneliti terhadap sumber-sumber kepustakaan baik Al-Qur’an, Sunnah, buku-
buku fikih atau karya-karya ilmiah dan artikel yang berkaitan dengan masalah
perwalian hakim ditinjau dari hukum Islam. Penelitian ini diharapkan dapat
memberi sumbangsih dan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
pada umumnya dan ilmu keIslaman pada khususnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebab wanita muallaf berwalikan
hakim pada umumnya menurut pasal 23 Kompilasi Hukum Islam, secara rinci
dijelaskan dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2005 tentang Wali Hakim, diataranya; sudah tidak ada hubungan keluarga (wali
nasab), walinya tidak berada di tempat/sedang berada di luar negeri (Wali Ghaib)
dan wali-wali nasab menolak atau enggan menikahkan (wali adhal), kedua, karena
wali nasabnya bukan Muslim. Pendapat pertama; Jumhur ‘Ulama (Syāfi’i, Mālik
dan Aḥmad bin Hanbal) berpendapat bahwa wali dalam pernikahan merupakan
rukun pernikahan. Pendapat kedua; Abû Hanifah, Abû Yûsuf, Imamiyah, Zufar,
al-Sya’bi, al-Zuhriy dan Daud berpendapat bahwa wali dalam perkawinan hanya
disyaratkan bagi wanita yang belum dewasa, sedangkan wanita yang sudah
dewasa dan janda boleh menikahkan dirinya sendiri. Menurut UU Perkawinan
wali hanya sebatas memberikan izin dan izinnya merupakan syarat sahnya untuk
melakukan pernikahan. Pasal 19 kompilasi hukum Islam (KHI) tidak menjelaskan
secara rinci, wali yang dimaksud adalah meliputi wali nasab dan wali hakim
A. Simpulan
Berdasarkan analisis data terhadap rumusan masalah sebelumnya maka
dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Penyebab utama wanita muallaf berwalikan hakim adalah karena wali
nasabnya bukan Muslim. Misal, bila ayah kandung wanita muallaf yang
hendak menikah telah masuk Islam maka ia dapat menjadi wali dalam
akad nikahnya. Namun bila sang ayah masih tetap pada agama asalnya
maka ia tidak dapat menjadi wali nikah bagi putrinya yang telah memeluk
agama Islam karena syarat wali harus beragama Islam.
Pada umumnya seorang wanita berwalikan hakim meliputi
beberapa faktor menurut pasal 23 Kompilasi Hukum Islam, secara rinci
dijelaskan dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30
tahun 2005 tentang Wali Hakim, diantanya; Sudah tidak ada hubungan
keluarga (wali nasab), walinya tidak berada di tempat/sedang berada di
luar negeri (Wali Ghaib) dan wali-wali nasab menolak atau enggan
menikahkan (wali adhal). Salah satu permasalahan yang muncul dalam hal
pernikahan adalah persoalan wali nikah bagi wanita muallaf. Yang di
maksud wanita muallaf di sini adalah wanita non-Muslim yang lahir dari
pasangan suami istri non-Muslim dalam sebuah pernikahan yang
dilakukan tidak secara Islam dan kemudian wanita tersebut memeluk
agama Islam.
2. Kedudukan wali menurut pendapat para fuqaha, yaitu:
Pendapat pertama; Jumhur ‘Ulama (Syāfi’i, Mālik dan Ahmad bin
Hanbal) berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah merupakan
salah satu rukun pernikahan. Maksudnya suatu pernikahan tidak sah (batal)
apabila tanpa dengan adanya wali. Ini disebabkan karena wanita dipandang
tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, bahkan menunjuk orang lain untuk
menikahkannya, kecuali yang berhak menjadi wali menurut yang
ditetapkan dalam syari’at.
Pendapat kedua; Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imamiyah, Zufar, al-
Sya’bi, al-Zuhriy dan Daud berpendapat bahwa wali dalam perkawinan
hanya disyaratkan bagi wanita yang belum dewasa, sedangkan wanita yang
sudah dewasa dan janda boleh menikahkan dirinya sendiri. Hal ini berarti
bahwa wali dipandang tidak termasuk salah satu rukun pernikahan.
Dengan demikian, pernikahan sah tanpa dengan wali.
Mengenai kedudukan wali nikah dalam pelaksanaan akad nikah
tidak dijelaskan secara jelas dalam UU Perkawinan. Ia hanya sebatas
memberikan izin, dan izinnya merupakan syarat sahnya untuk melakukan
pernikahan bagi orang yang dibawah kewaliannya, hal tersebut berlaku
bagi wanita yang belum dewasa. .
B. Implikasi
Akhir kata dari penyusunan skripsi ini, penyusun mengharapkan manfaat
bagi kita semua. Sebelum mengakhiri tulisan ini, penyusun ingin memberikan
sedikit saran pada para pihak yang berkompeten dalam bidang ini, khususnya
kepada para pembaca.
1.Dalam perkawinan yang berhak menjadi wali yakni orang yang
mempunyai hubungan kerabat dengan calon mempelai. Agar perkawinan
dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam maka dalam penunjukan wali
harus sesuai syariat Islam.
2.Dalam perwalian bagi wanita muallaf harus ada persetujuan dari
beberapa kerabat lain, agar perkawinan tersebut berlangsung sesuai dengan
ajaran Islam. Wanita muallaf berwalikan hakim apabila wali nasab lainnya
tidak ada yang beragama Islam, selama ada wali nasab lainnya yang
beragama Islam, maka yang berhak menjadi wali adalah wali nasab dari
wanita muallaf tersebut, bukan wali hakim.
Ketersediaan
| SSYA20190448 | 448/2019 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
448/2019
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2019
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
