Nazhir dalam Persfektif Fikih dan Perundang-Undangan
Nova Ramadhani/01.15.1082 - Personal Name
Skripsi ini membahas secara analisis deskriptif tentang bagaimana Nazhir dalam
persfektif fikih dan perundang-undangan. Dari permasalahan pokok ini menghasilkan
beberapa sub masalah yakni: 1.) Bagaimana kedudukan Nazhir dalam hukum fikih? 2.)
Bagaimana kedudukan Nazhir dalam Undang-Undang?. Dalam menjawab permasalahan
tersebut, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan teologis-normatif, pendekatan
yuridis-normatif dan berparadigma deskriptif kualitatif, yang melihat objek kajian dari sudut
pandang fikih dan Undang-Undang. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research), yaitu penulis menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya dengan cara
menelaah dan meneliti terhadap sumber-sumber kepustakaan baik al-Qur’an, as-Sunnah,
buku-buku fikih atau karya-karya ilmiah dan Undang-Undang yang berkaitan dengan
masalah nazhir khusunya terhadap fikih dan Undang-Undang.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kedudukan nazhir dalam hukum fikih dan
untuk mengetahui kedudukan nazhir dalam Undang-Undang, adapun kegunaannya ada dua
yaitu 1.).kegunaan ilmiah yakni hasil penelitian diharapkan dapat memberi sumbangsi dan
kontribusi terhadap perkembangan pemahaman mengenai nazhir dalam persfektif fikih dan
Perundang-undangan. 2.) Kegunaan praktis yakni diharapkan dapat memberi sumbangsi
pemikiran dan masukan terhadap individu mengenai nazhir dalam persfektif fikih dan
Perundang-undangan.
Setelah melakukan beberapa kajian terhadap nazhir dalam persfektif fikih dan
perundang-undangan maka dapat disimpulkan bahwa: nazhir dalam hukum fikih tidak
dijadikan sebagai salah satu rukun wakaf. Para ulama berpendapat bahwa yang paling
berhak menentukan nazhir adalah wakif. Adapun jika wakif tidak menunjuk nazhir
disaat ia melakukan ikrar wakaf, pada umumnya ulama berpendapat bahwa yang
berhak mengangkat nazhir adalah hakim, kecuali sebagian golongan hanabilah yang
berpendapat jika mauquf ‘alaih-nya mua’yyan hak pengangkatan nazhir ada pada
mauquf ‘alaih. Jika mauquf alaih-nya tidak mampu melaksanakan tugasnya, tugas
tidak kembali kepada hakim tetapi kepada wali mauquf ‘alaih. Kedudukan nazhir
wakaf diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang
isinya lebih menegaskan kedudukan nazhir dalam perwakafan dan adanya batasan
imbalan nazhir dalam perwakafan. Kedudukan nazhir dalam proses perwakafan
disebabkan harta benda wakaf harus didaftarkan atas nama nazhir untuk kepentingan
pihak yang dimaksudkan dalam akta ikrar wakaf sesuai dengan peruntukannya. Bila
tidak ada nazhir maka tidak akan ada harta benda yang diwakafkan. Nazhir menurut
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf meliputi nazhir perseorangan,
nazhir organisasi, dan nazhir badan hukum.
A. Simpulan
1. Kehadiran nazhir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam pengelolaan
harta wakaf sangatlah penting. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan
nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif
harus menunjuk nazhir wakaf, baik yang bersifat perseorangan maupun
kelembagaan (badan hukum). Pada dasarnya, siapapun dapat menjadi nazhir
sepanjang ia bisa melakukan tindakan hukum. Tapi karena tugas Nazhir
menyangkut harta benda yang manfaatnya harus disampaikan kepada pihak
yang berhak menerimanya, jabatan nazhir harus diberikan kepada orang yang
memang mampu menjalankan tugas itu.
2. Nazhir dalam Hukum Fikih tidak dijadikan sebagai salah satu rukun wakaf.
Wakif
dapat
bertindak
sebagai
Nazhir
terhadap
harta
yang
telah
diwakafkannya, maupun menunjuk orang lain menggantikan tugasnya. Para
ulama berpendapat bahwa yang paling berhak menentukan Nazhir adalah
wakif. Adapun jika wakif tidak menunjuk Nazhir disaat ia melakukan ikrar
wakaf, pada umumnya ulama berpendapat bahwa yang berhak mengakat Nazhir
adalah hakim, kecuali sebagian golongan hanabilah yang berpendapat jika
mauquf ‘alaih-nya mua’yyan hak pengangkatan Nazhir ada pada mauquf ‘alaih.
Jika mauquf alaih-nya tidak mampu melaksanakan tugasnya, tugas tidak
kembali kepada hakim tetapi kepada wali
mauquf ‘alaih.
Sedangkan
Kedudukan Nazhir wakaf diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf yang isinya lebih menegaskan kedudukan Nazhir dalam
perwakafan dan adanya batasan imbalan Nazhir dalam perwakafan. Kedudukan
Nazhir dalam proses perwakafan disebabkan harta benda wakaf harus
didaftarkan atas nama Nazhir untuk kepentingan pihak yang dimaksudkan
dalam Akta Ikrar Wakaf sesuai dengan peruntukannya. Bila tidak ada Nazhir
maka tidak akan ada harta benda yang diwakafkan. Nazhir menurut Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf meliputi Nazhir Perseorangan,
Nazhir Organisasi, dan Nazhir Badan Hukum.
B. Saran
1. Zaman dahuhu para ulama tidak mencantumkan Nazhir ke dalam rukun wakaf
karena mereke sudah percaya kepada wakif itu sendiri, karena tingkat
ketakwaan dan kesholihan umat muslim zaman dahulu masih sangat besar
sekali dan sangat amanah, berbeda dengan zaman sekarang, tingkat keimanan
umat Islam menurun ditambah permasalahan kehidupan sehari-hari yang
menambah permasalahan ataupun beban hidup umat muslim di Indonesia
menjadikan harta benda wakaf rawan disalah gunakan. Maka dari itu, sebagai
umat muslim Indonesia kita harus meningkatkan iman dan ketakwaan kita
kepada Allah Swt. agar kita mampu dan ikhlas menjalankan amanat laman
menjaga dan mengelolah harta benda wakaf agar lebih bermanfaat untuk kita
semua demi kemajuan umat muslim di Indonesia.
2. Kepada pihak pemerintah untuk lebih memperhatikan terhadap Nazhir wakaf
agar pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf lebih berkembang dan
lebih banyak memberi manfaat kepada umat Islam pada umumnya dan kepada
masyarakat muslim yang lebih membutuhkan pada khususnya.
persfektif fikih dan perundang-undangan. Dari permasalahan pokok ini menghasilkan
beberapa sub masalah yakni: 1.) Bagaimana kedudukan Nazhir dalam hukum fikih? 2.)
Bagaimana kedudukan Nazhir dalam Undang-Undang?. Dalam menjawab permasalahan
tersebut, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan teologis-normatif, pendekatan
yuridis-normatif dan berparadigma deskriptif kualitatif, yang melihat objek kajian dari sudut
pandang fikih dan Undang-Undang. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research), yaitu penulis menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya dengan cara
menelaah dan meneliti terhadap sumber-sumber kepustakaan baik al-Qur’an, as-Sunnah,
buku-buku fikih atau karya-karya ilmiah dan Undang-Undang yang berkaitan dengan
masalah nazhir khusunya terhadap fikih dan Undang-Undang.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kedudukan nazhir dalam hukum fikih dan
untuk mengetahui kedudukan nazhir dalam Undang-Undang, adapun kegunaannya ada dua
yaitu 1.).kegunaan ilmiah yakni hasil penelitian diharapkan dapat memberi sumbangsi dan
kontribusi terhadap perkembangan pemahaman mengenai nazhir dalam persfektif fikih dan
Perundang-undangan. 2.) Kegunaan praktis yakni diharapkan dapat memberi sumbangsi
pemikiran dan masukan terhadap individu mengenai nazhir dalam persfektif fikih dan
Perundang-undangan.
Setelah melakukan beberapa kajian terhadap nazhir dalam persfektif fikih dan
perundang-undangan maka dapat disimpulkan bahwa: nazhir dalam hukum fikih tidak
dijadikan sebagai salah satu rukun wakaf. Para ulama berpendapat bahwa yang paling
berhak menentukan nazhir adalah wakif. Adapun jika wakif tidak menunjuk nazhir
disaat ia melakukan ikrar wakaf, pada umumnya ulama berpendapat bahwa yang
berhak mengangkat nazhir adalah hakim, kecuali sebagian golongan hanabilah yang
berpendapat jika mauquf ‘alaih-nya mua’yyan hak pengangkatan nazhir ada pada
mauquf ‘alaih. Jika mauquf alaih-nya tidak mampu melaksanakan tugasnya, tugas
tidak kembali kepada hakim tetapi kepada wali mauquf ‘alaih. Kedudukan nazhir
wakaf diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang
isinya lebih menegaskan kedudukan nazhir dalam perwakafan dan adanya batasan
imbalan nazhir dalam perwakafan. Kedudukan nazhir dalam proses perwakafan
disebabkan harta benda wakaf harus didaftarkan atas nama nazhir untuk kepentingan
pihak yang dimaksudkan dalam akta ikrar wakaf sesuai dengan peruntukannya. Bila
tidak ada nazhir maka tidak akan ada harta benda yang diwakafkan. Nazhir menurut
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf meliputi nazhir perseorangan,
nazhir organisasi, dan nazhir badan hukum.
A. Simpulan
1. Kehadiran nazhir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam pengelolaan
harta wakaf sangatlah penting. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan
nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif
harus menunjuk nazhir wakaf, baik yang bersifat perseorangan maupun
kelembagaan (badan hukum). Pada dasarnya, siapapun dapat menjadi nazhir
sepanjang ia bisa melakukan tindakan hukum. Tapi karena tugas Nazhir
menyangkut harta benda yang manfaatnya harus disampaikan kepada pihak
yang berhak menerimanya, jabatan nazhir harus diberikan kepada orang yang
memang mampu menjalankan tugas itu.
2. Nazhir dalam Hukum Fikih tidak dijadikan sebagai salah satu rukun wakaf.
Wakif
dapat
bertindak
sebagai
Nazhir
terhadap
harta
yang
telah
diwakafkannya, maupun menunjuk orang lain menggantikan tugasnya. Para
ulama berpendapat bahwa yang paling berhak menentukan Nazhir adalah
wakif. Adapun jika wakif tidak menunjuk Nazhir disaat ia melakukan ikrar
wakaf, pada umumnya ulama berpendapat bahwa yang berhak mengakat Nazhir
adalah hakim, kecuali sebagian golongan hanabilah yang berpendapat jika
mauquf ‘alaih-nya mua’yyan hak pengangkatan Nazhir ada pada mauquf ‘alaih.
Jika mauquf alaih-nya tidak mampu melaksanakan tugasnya, tugas tidak
kembali kepada hakim tetapi kepada wali
mauquf ‘alaih.
Sedangkan
Kedudukan Nazhir wakaf diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf yang isinya lebih menegaskan kedudukan Nazhir dalam
perwakafan dan adanya batasan imbalan Nazhir dalam perwakafan. Kedudukan
Nazhir dalam proses perwakafan disebabkan harta benda wakaf harus
didaftarkan atas nama Nazhir untuk kepentingan pihak yang dimaksudkan
dalam Akta Ikrar Wakaf sesuai dengan peruntukannya. Bila tidak ada Nazhir
maka tidak akan ada harta benda yang diwakafkan. Nazhir menurut Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf meliputi Nazhir Perseorangan,
Nazhir Organisasi, dan Nazhir Badan Hukum.
B. Saran
1. Zaman dahuhu para ulama tidak mencantumkan Nazhir ke dalam rukun wakaf
karena mereke sudah percaya kepada wakif itu sendiri, karena tingkat
ketakwaan dan kesholihan umat muslim zaman dahulu masih sangat besar
sekali dan sangat amanah, berbeda dengan zaman sekarang, tingkat keimanan
umat Islam menurun ditambah permasalahan kehidupan sehari-hari yang
menambah permasalahan ataupun beban hidup umat muslim di Indonesia
menjadikan harta benda wakaf rawan disalah gunakan. Maka dari itu, sebagai
umat muslim Indonesia kita harus meningkatkan iman dan ketakwaan kita
kepada Allah Swt. agar kita mampu dan ikhlas menjalankan amanat laman
menjaga dan mengelolah harta benda wakaf agar lebih bermanfaat untuk kita
semua demi kemajuan umat muslim di Indonesia.
2. Kepada pihak pemerintah untuk lebih memperhatikan terhadap Nazhir wakaf
agar pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf lebih berkembang dan
lebih banyak memberi manfaat kepada umat Islam pada umumnya dan kepada
masyarakat muslim yang lebih membutuhkan pada khususnya.
Ketersediaan
| SSYA20190586 | 586/2019 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
586/2019
Penerbit
IAIN BONE : Watampone., 2019
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
