Jabatan Gubernur Menurut Al-Mawardi Dan Sistem Politik Di Indonesia
Haslindah/01.13.4030 - Personal Name
Skripsi ini membahas jabatan gubernur menurut Al-Mawardi dan sistem
politik di Indonesia. Pokok permasalahannya adalah bagaimana pemikiran Al-
Mawardi tentang jabatan gubernur dan relevansi antara pemikiran Al-Mawardi
tentang jabatan gubernur dengan sistem politik di Indonesia. Penelitian ini
menggunakan metode dengan dua pendekatan yakni; pendekatan yuridis-normatif
dan pendekatan historis. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui penelusuran di
perpustakaan kampus STAIN Watampone, perpustakaan daerah kabupaten Bone,
kedai baca dan tulisan-tulisan yang ada di internet yang berkaitan dengan objek
penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran Al-Mawardi tentang
jabatan gubernur dan untuk mengetahui relevansi antara pemikiran Al-Mawardi
tentang jabatan gubernur dengan sistem politik di Indonesia. Adapun kegunaan
penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
jabatan gubernur dalam sistem pemerintahan, khusunya pandangan Al-Mawardi dan
untuk mengetahui hubungan pemikiran Al-Mawardi mengenai jabatan gubernur
dengan sistem politik di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa didalam pandangan Al-Mawardi,
syarat-syarat untuk menjadi gubernur sama halnya dengan syarat menjadi wazir
tanfidz yaitu,tidak disyaratkan harus beragama Islam dan boleh diduduki oleh kafir
dzimmi karena gubernur bukanlah kepala pemerintahan dan penentu kebijakan
melainkan hanya pelaksana kebijakan atau perantara Imam (khalifah)dan rakyat.
Sistem pemerintahan di Indonesia dalam kaitanya jabatan gubernur sejalan dengan
pemikiran Al-Mawardi, dimana jabatan gubernur diperbolehkan diduduki oleh
seorang pemimpin yang beragama non Muslim. Hal ini dikarenakan gubernur sama
halnya dengan lembaga eksekutif yang hanya bersifat pelaksana. Indonesia bukanlah
negara Islam sehingga harus tunduk pada Undang-undang, dan Islam adalah agama
yang bersifat universal, serta tidak bertentangan dengan konstitusi yang berlaku.
A. Simpulan
Berdasarkan pokok masalah dan sub-sub masalah yang diteliti dalam
tulisan ini, maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Khalifah pada dasarnya tidak mampu melaksanakan tugasnya sendiri tanpa
adanya seorang wazir (pembantu khalifah), dengan demikian al-Mawardi
membagi wazir atas dua yaitu, wazir tafwidh (pembantu khalifah bidang
pemerintahan) dan wazir tanfidz (pembantu khalifah bidang administrasi).
Wazir tafwidh memiliki kewenangan yang luas dibandingkan wazir tanfidzi
karena wazir tanfidz hanya mediator antara Imam (khalifah) dan rakyat.
Menurut al-Mawardi, syarat-syarat untuk menjadi gubernur sama halnya
dengan syarat menjadi wazir tanfidz yaitu, tidak disyaratkan harus
beragama Islam dan boleh diduduki oleh kafir dzimmi karena gubernur
bukanlah kepala pemerintahan dan penentu kebijakan, melainkan hanya
pelaksana kebijakan atau perantara antara Imam (khalifah) dan rakyat.
2. Sistem pemerintahan di Indonesia kaitanya dengan jabatan gubernur
sejalan dengan pemikiran al-Mawardi. Dimana perbincangan yang selalu
menyita perhatian dan mengundang kontroversi baik dalam kalangan ulama
maupun masyarakat adalah kepemimpinan non Muslim di Indonesia,
khususnya kepemimpinan Basuki Tjahja Purnama atau dikenal dengan
panggilan Ahok. Seorang yang beragama non Muslim (Tinghoa) yang
kaitanya dengan beberapa fatwa yang menyatakan keharaman memimpin
non Muslim. Dalam hal ini al-Mawardi adalah salah satu tokoh pemikir
Islam yang membolehkan jabatan gubernur dipimpin oleh seorang yang
beragama non Muslim. Hal ini dikarenakan gubernur sama halnya dengan
lembaga eksekutif yang hanya bersifat pelaksana bukanlah penentu suatu
kebijakan. Indonesia bukanlah negara Islam sehingga harus tunduk pada
Undang-undang, dan Islam adalah agama yang bersifat universal, serta
tidak bertentangan dengan konstitusi yang berlaku.
B. Saran
Berdasarkan uraian diatas maka penulis menyarankan sebagai berikut:
1. Setia orang, Muslim maupun non Muslim, memiliki hak dan kewajiban
yang sama dalam sistem demokrasi diera modern. Islam mengajarkan tidak
boleh diskriminasi model apapun dan dengan alasan apapun yang
merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak lain. Adanya ayat-ayat al-
Qur’an yang melarang untuk mengangkat golongan non Muslim sebagai
pemimpin atau wali harus dipahami secara kontekstual yaitu dalam suasana
konflik dan permusuhan pada zaman nabi. Ketika keadaan visi beragama
ummat manusia telah berubah maka ketentuan literal berbagai ayat
dimaksud harus dipahami secara berbeda pula. Setiap orang yang mendapat
kepercayaan serta memiliki kemampuan untuk membawa rakyat dan
bangsa kepada kehidupan damai dan sejahtera adalah berhak dan
berpeluang untuk dipilih sebagai pemimpin.
2. Al-Mawardi bermarzab Syafi’I, dan Pemikiran al-Mawardi bersifat
fluralisme dan lebih kepada syariat-syariat Islam sehingga sangat tepat
diterapkan di Indonesia yang merupakan negara yang penduduknya
mayoritas Muslim.
politik di Indonesia. Pokok permasalahannya adalah bagaimana pemikiran Al-
Mawardi tentang jabatan gubernur dan relevansi antara pemikiran Al-Mawardi
tentang jabatan gubernur dengan sistem politik di Indonesia. Penelitian ini
menggunakan metode dengan dua pendekatan yakni; pendekatan yuridis-normatif
dan pendekatan historis. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui penelusuran di
perpustakaan kampus STAIN Watampone, perpustakaan daerah kabupaten Bone,
kedai baca dan tulisan-tulisan yang ada di internet yang berkaitan dengan objek
penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran Al-Mawardi tentang
jabatan gubernur dan untuk mengetahui relevansi antara pemikiran Al-Mawardi
tentang jabatan gubernur dengan sistem politik di Indonesia. Adapun kegunaan
penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
jabatan gubernur dalam sistem pemerintahan, khusunya pandangan Al-Mawardi dan
untuk mengetahui hubungan pemikiran Al-Mawardi mengenai jabatan gubernur
dengan sistem politik di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa didalam pandangan Al-Mawardi,
syarat-syarat untuk menjadi gubernur sama halnya dengan syarat menjadi wazir
tanfidz yaitu,tidak disyaratkan harus beragama Islam dan boleh diduduki oleh kafir
dzimmi karena gubernur bukanlah kepala pemerintahan dan penentu kebijakan
melainkan hanya pelaksana kebijakan atau perantara Imam (khalifah)dan rakyat.
Sistem pemerintahan di Indonesia dalam kaitanya jabatan gubernur sejalan dengan
pemikiran Al-Mawardi, dimana jabatan gubernur diperbolehkan diduduki oleh
seorang pemimpin yang beragama non Muslim. Hal ini dikarenakan gubernur sama
halnya dengan lembaga eksekutif yang hanya bersifat pelaksana. Indonesia bukanlah
negara Islam sehingga harus tunduk pada Undang-undang, dan Islam adalah agama
yang bersifat universal, serta tidak bertentangan dengan konstitusi yang berlaku.
A. Simpulan
Berdasarkan pokok masalah dan sub-sub masalah yang diteliti dalam
tulisan ini, maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Khalifah pada dasarnya tidak mampu melaksanakan tugasnya sendiri tanpa
adanya seorang wazir (pembantu khalifah), dengan demikian al-Mawardi
membagi wazir atas dua yaitu, wazir tafwidh (pembantu khalifah bidang
pemerintahan) dan wazir tanfidz (pembantu khalifah bidang administrasi).
Wazir tafwidh memiliki kewenangan yang luas dibandingkan wazir tanfidzi
karena wazir tanfidz hanya mediator antara Imam (khalifah) dan rakyat.
Menurut al-Mawardi, syarat-syarat untuk menjadi gubernur sama halnya
dengan syarat menjadi wazir tanfidz yaitu, tidak disyaratkan harus
beragama Islam dan boleh diduduki oleh kafir dzimmi karena gubernur
bukanlah kepala pemerintahan dan penentu kebijakan, melainkan hanya
pelaksana kebijakan atau perantara antara Imam (khalifah) dan rakyat.
2. Sistem pemerintahan di Indonesia kaitanya dengan jabatan gubernur
sejalan dengan pemikiran al-Mawardi. Dimana perbincangan yang selalu
menyita perhatian dan mengundang kontroversi baik dalam kalangan ulama
maupun masyarakat adalah kepemimpinan non Muslim di Indonesia,
khususnya kepemimpinan Basuki Tjahja Purnama atau dikenal dengan
panggilan Ahok. Seorang yang beragama non Muslim (Tinghoa) yang
kaitanya dengan beberapa fatwa yang menyatakan keharaman memimpin
non Muslim. Dalam hal ini al-Mawardi adalah salah satu tokoh pemikir
Islam yang membolehkan jabatan gubernur dipimpin oleh seorang yang
beragama non Muslim. Hal ini dikarenakan gubernur sama halnya dengan
lembaga eksekutif yang hanya bersifat pelaksana bukanlah penentu suatu
kebijakan. Indonesia bukanlah negara Islam sehingga harus tunduk pada
Undang-undang, dan Islam adalah agama yang bersifat universal, serta
tidak bertentangan dengan konstitusi yang berlaku.
B. Saran
Berdasarkan uraian diatas maka penulis menyarankan sebagai berikut:
1. Setia orang, Muslim maupun non Muslim, memiliki hak dan kewajiban
yang sama dalam sistem demokrasi diera modern. Islam mengajarkan tidak
boleh diskriminasi model apapun dan dengan alasan apapun yang
merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak lain. Adanya ayat-ayat al-
Qur’an yang melarang untuk mengangkat golongan non Muslim sebagai
pemimpin atau wali harus dipahami secara kontekstual yaitu dalam suasana
konflik dan permusuhan pada zaman nabi. Ketika keadaan visi beragama
ummat manusia telah berubah maka ketentuan literal berbagai ayat
dimaksud harus dipahami secara berbeda pula. Setiap orang yang mendapat
kepercayaan serta memiliki kemampuan untuk membawa rakyat dan
bangsa kepada kehidupan damai dan sejahtera adalah berhak dan
berpeluang untuk dipilih sebagai pemimpin.
2. Al-Mawardi bermarzab Syafi’I, dan Pemikiran al-Mawardi bersifat
fluralisme dan lebih kepada syariat-syariat Islam sehingga sangat tepat
diterapkan di Indonesia yang merupakan negara yang penduduknya
mayoritas Muslim.
Ketersediaan
| SS20170159 | 159/2017 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
159/2017
Penerbit
STAIN Watampone : Watampone., 2017
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
