Problematika dan Implementasi PERMA No. Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Terhadap Perkara Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Kelas I.A Watampone)
Musyayyadah/01.13.1015 - Personal Name
Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Penyempurnaan tersebut
dilakukan Mahkamah Agung karena dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1
2008 ditemukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif penerapannya
diPengadilan.
Adapun permasalahan dalam skripsi yaitu, bagaimana implementasi mediasi
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 2016 terhadap perkara perceraian di
Pengadilan Agama Watampone, dan masalah-masalah yang terjadi dalam
pelaksanaan mediasi terhadap perkara perceraian yang meliputi faktor-faktor
penghambat dan pendukung keberhasilan pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama
Watampone yang mempengaruhi terhadap tingginya angka perceraian di Pengadilan
Agama Watampone.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis bersifat
deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data-data dengan
cara mengumpulkan data-data secara langsung turun kelapangan untuk melakukan
observasi dan wawancara pada objek yang diteliti. Sumber data yang didapat yaitu,
data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui
penelitian lapangan melalui wawancara, data sekunder adalah data yang diperoleh
melalui buku-buku, dan dokumen-dokumen resmi.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa proses penyelesaian perkara perceraian
melalui mediasi dibagi atas 2 (dua) tahap yaitu: Pertama, tahap pra mediasi mengatur
kewajiban hakim untuk mewajibkan para pihak menempuh mediasi, menunda
persidangan, dan menjelaskan prosedur dan biaya mediasi serta kebebasan para pihak
memilih mediator. Kedua, tahap mediasi yang meliputi penyusunan resume perkara,
penentuan tempat dan jadwal pertemuan para pihak, kewenangan dan tugas mediator,
proses kaukus, keterlibatan ahli, serta mediasi mencapai kesepakatan dan tidak
mencapai kesepakatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengadilan Agama
Watampone dalam melaksanakan mediasi telah sesuai dengan prosedur yang terdapat
dalam Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2016. Namun, tingkat keberhasilan
mediasi di Pengadilan Agama Watampone masih belum menunjukan hasil yang
maksimal dalam menekan angka perceraian. Hal itu dikarenakan adanya factor
penghambat antara lain: tidak ada iktikad baik dari par apihak yang dengan sengaja
tidak menghadiri pertemuan mediasi, keinginan kuat para pihak untuk bercerai
sehingga masing-masing pihak tetap bertahan pada pendiriannya semula yaitu
bercerai dengan bersikap saling mempertahankan kepentingan mereka sendiri. Salah
satu pihak bahkan keduanya sudah sangat kuat keinginannya untuk bercerai. Sudah
terjadi konflik yang berkepanjangan dan sangat rumit, sehingga dapat dikatakan
bahwa perkawinan antara pasangan suami dan isteri telah pecah dan sudah sangat
sulit untuk didamaikan lagi.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian terkait problematika dan implementasi PERMA No.
1 Tahun 2016 terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Watampone serta
pembahasan sebagaimana diuraikan oleh peneliti maka dapat disimpulkan:
1. Pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Watampone telah berjalan sesuai
dengan PERMA No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Namun dalam pelaksanaannya dapat dikatakan belum efektif karena dari sekian
banyak perkara yang masuk di Pengadilan Agama Watampone sangat sedikit
yang berhasil dimediasi. Dalam perkara perceraian memang sangat sulit untuk
tercapainyamediasi karena karena masing-masing pihak telah sepakat untuk
bercerai dari pada mempertahankan rumah tangga mereka.
2. Faktor-faktor penyebab mediasi belum efektif di Pengadilan Agama Watampone
yaitu karena para pihak lebih mementingkan kepentingan pribadi masing-masing
dari pada kepentingan bersama, dan juga lebih mengutamakan gengsi. Jenis
perkara perceraian memang sulit untuk dimediasi karena berkaitan erat dengan
perasaan (non kebendaan), dan perasaan tidak dapat dipaksakan. Selain itu para
pihak baik Penggugat maupun Tergugat sendiri susah sekali dipertemukan, para
pihak enggan datang pada proses mediasi sehingga mediasi tidak dapat
dilaksanakan, sedangkan dalam melaksanakan proses mediasi ini harus ada
iktikad baik dari para pihak, jika tidak ada iktikad baik maka mediasi itu bisa
dikatakan gagal. Kehadiran kedua belah pihak untuk mengikuti mediasi bukan
karena mereka ingin menyelesaikan perkara perceraian mereka secara damai
3. dengan mempunyai iktikad baik, akan tetapi karena mereka takut jika tidak
mengikuti prosedur mediasi ini maka permohonan mereka akan ditolak oleh
Pengadilan Agama. Disamping itu dalam proses mediasi yang dihadiri para
pihak, masing-masing pihak tetap bertahan pada pendiriannya semula yaitu
bercerai dengan bersikap saling mempertahankan kepentingan mereka sendiri,
serta keinginan para pihak tidak dapat disatukan.
B. Implikasi
1. Para hakim yang menjadi mediator di Pengadilan Agama Watampone diharapkan
agar mempunyai sertifikat untuk menjadi seorang mediator sehingga menjadi
lebih berkualitas dan berperan secara optimal dalam menyelesaikan perkara dan
untuk memenuhi kebutuhan mediator yang bersertifikat yang jumlahnya masih
sedikit di Pengadilan Agama Watampone.
2. Selain sosialisasi kepada hakim (hakim mediator) diperlukan pula, sosialisasi
kepada masyarakat tentang tujuan dan manfaat menyelesaikan perkara secara
mediasi berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
3. Kepada pemerintah dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA), agar
memberikan pelatihan dan pembinaan kepada calon pasangan yang ingin
menikah. Hal ini dilakukan agar mereka memiliki pengetahuan yang cukup serta
kesiapan mental baik, sehingga terhindar dari perceraian yang disebabkan
ketidaksiapan mereka dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
di Pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Penyempurnaan tersebut
dilakukan Mahkamah Agung karena dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1
2008 ditemukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif penerapannya
diPengadilan.
Adapun permasalahan dalam skripsi yaitu, bagaimana implementasi mediasi
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 2016 terhadap perkara perceraian di
Pengadilan Agama Watampone, dan masalah-masalah yang terjadi dalam
pelaksanaan mediasi terhadap perkara perceraian yang meliputi faktor-faktor
penghambat dan pendukung keberhasilan pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama
Watampone yang mempengaruhi terhadap tingginya angka perceraian di Pengadilan
Agama Watampone.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis bersifat
deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data-data dengan
cara mengumpulkan data-data secara langsung turun kelapangan untuk melakukan
observasi dan wawancara pada objek yang diteliti. Sumber data yang didapat yaitu,
data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui
penelitian lapangan melalui wawancara, data sekunder adalah data yang diperoleh
melalui buku-buku, dan dokumen-dokumen resmi.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa proses penyelesaian perkara perceraian
melalui mediasi dibagi atas 2 (dua) tahap yaitu: Pertama, tahap pra mediasi mengatur
kewajiban hakim untuk mewajibkan para pihak menempuh mediasi, menunda
persidangan, dan menjelaskan prosedur dan biaya mediasi serta kebebasan para pihak
memilih mediator. Kedua, tahap mediasi yang meliputi penyusunan resume perkara,
penentuan tempat dan jadwal pertemuan para pihak, kewenangan dan tugas mediator,
proses kaukus, keterlibatan ahli, serta mediasi mencapai kesepakatan dan tidak
mencapai kesepakatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengadilan Agama
Watampone dalam melaksanakan mediasi telah sesuai dengan prosedur yang terdapat
dalam Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2016. Namun, tingkat keberhasilan
mediasi di Pengadilan Agama Watampone masih belum menunjukan hasil yang
maksimal dalam menekan angka perceraian. Hal itu dikarenakan adanya factor
penghambat antara lain: tidak ada iktikad baik dari par apihak yang dengan sengaja
tidak menghadiri pertemuan mediasi, keinginan kuat para pihak untuk bercerai
sehingga masing-masing pihak tetap bertahan pada pendiriannya semula yaitu
bercerai dengan bersikap saling mempertahankan kepentingan mereka sendiri. Salah
satu pihak bahkan keduanya sudah sangat kuat keinginannya untuk bercerai. Sudah
terjadi konflik yang berkepanjangan dan sangat rumit, sehingga dapat dikatakan
bahwa perkawinan antara pasangan suami dan isteri telah pecah dan sudah sangat
sulit untuk didamaikan lagi.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian terkait problematika dan implementasi PERMA No.
1 Tahun 2016 terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Watampone serta
pembahasan sebagaimana diuraikan oleh peneliti maka dapat disimpulkan:
1. Pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Watampone telah berjalan sesuai
dengan PERMA No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Namun dalam pelaksanaannya dapat dikatakan belum efektif karena dari sekian
banyak perkara yang masuk di Pengadilan Agama Watampone sangat sedikit
yang berhasil dimediasi. Dalam perkara perceraian memang sangat sulit untuk
tercapainyamediasi karena karena masing-masing pihak telah sepakat untuk
bercerai dari pada mempertahankan rumah tangga mereka.
2. Faktor-faktor penyebab mediasi belum efektif di Pengadilan Agama Watampone
yaitu karena para pihak lebih mementingkan kepentingan pribadi masing-masing
dari pada kepentingan bersama, dan juga lebih mengutamakan gengsi. Jenis
perkara perceraian memang sulit untuk dimediasi karena berkaitan erat dengan
perasaan (non kebendaan), dan perasaan tidak dapat dipaksakan. Selain itu para
pihak baik Penggugat maupun Tergugat sendiri susah sekali dipertemukan, para
pihak enggan datang pada proses mediasi sehingga mediasi tidak dapat
dilaksanakan, sedangkan dalam melaksanakan proses mediasi ini harus ada
iktikad baik dari para pihak, jika tidak ada iktikad baik maka mediasi itu bisa
dikatakan gagal. Kehadiran kedua belah pihak untuk mengikuti mediasi bukan
karena mereka ingin menyelesaikan perkara perceraian mereka secara damai
3. dengan mempunyai iktikad baik, akan tetapi karena mereka takut jika tidak
mengikuti prosedur mediasi ini maka permohonan mereka akan ditolak oleh
Pengadilan Agama. Disamping itu dalam proses mediasi yang dihadiri para
pihak, masing-masing pihak tetap bertahan pada pendiriannya semula yaitu
bercerai dengan bersikap saling mempertahankan kepentingan mereka sendiri,
serta keinginan para pihak tidak dapat disatukan.
B. Implikasi
1. Para hakim yang menjadi mediator di Pengadilan Agama Watampone diharapkan
agar mempunyai sertifikat untuk menjadi seorang mediator sehingga menjadi
lebih berkualitas dan berperan secara optimal dalam menyelesaikan perkara dan
untuk memenuhi kebutuhan mediator yang bersertifikat yang jumlahnya masih
sedikit di Pengadilan Agama Watampone.
2. Selain sosialisasi kepada hakim (hakim mediator) diperlukan pula, sosialisasi
kepada masyarakat tentang tujuan dan manfaat menyelesaikan perkara secara
mediasi berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
3. Kepada pemerintah dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA), agar
memberikan pelatihan dan pembinaan kepada calon pasangan yang ingin
menikah. Hal ini dilakukan agar mereka memiliki pengetahuan yang cukup serta
kesiapan mental baik, sehingga terhindar dari perceraian yang disebabkan
ketidaksiapan mereka dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Ketersediaan
| SS20170124 | 124/2017 | Perpustakaan Pusat | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
124/2017
Penerbit
STAIN Watampone : Watampone., 2017
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Skripsi Syariah
Informasi Detil
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
-
Tidak tersedia versi lain
